DEKLARASI HUTAN ADAT DAHAS BOLAU


Seekor babi dan ayam sudah disiapkan di sekitar tugu tempat deklarasi hutan adat Dahas Bolau di Tapin Bini, Lamandau Kalteng. Kedua binatang ini akan diambil darahnya untuk Mambia Tanah oleh Damang kecamatan Lamandau Tjangkal Sepenar. Tidak ketinggalan pula tuak, beras kuning dan ancak yang terbuat dari bambu dan alat bahan kelengkapan adat lainnya. Acara adat ini dilaksanakan oleh masyarakat adat Dayak Tomun, sebelum deklarasi hutan adat keesokan harinya, tujuannya adalah untuk menimang tanah agar tidak diganggu gugat oleh manusia yang ingin merusaknya.

Sebanyak 50 orang lebih turut menghadiri deklarasi hutan adat ini. Tidak hanya dari desa Tapin Bini yang ikut, dari desa Sekoban dan Bokunsu juga terlihat hadir. Dari pemerintah desa tampak hadir Lurah Tapin Bini, Yusmin. Namun, dari pihak perusahaan maupun dinas terkait tidak terlihat. “Dari perusahaan itu entah salah komunikasi, sehingga tidak ada yang hadir. Pada saat deklarasi mereka juga complain karena tidak diundang, mungkin kesalahan teknis,” jelas Ethos H.L Ketika KR mengkonfirmasi ini ke pihak perusahaan melalui HP, Agus yang bekerja di staf CSR PT. Pilar Wana Persada mengatakan, mungkin kendala transportasi sehingga undangan tidak diterima.

“Acara ini berawal dari keinginan masyarakat adat Dayak Tomun yang ada di sekitar hutan ini agar ada kawasan hutan yang tetap lestari sehingga budaya Dayak tetap terjaga,” jelas pria yang juga menjabat sebagai General Manajer CU Betang Asi.

Tapin Bini dapat ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan roda empat selama 12 jam dari kota Palangka Raya. Kabupaten Lamandau yang berbatasan langsung dengan propinsi tetangga Kalimantan Barat, bahasa daerahnya yang disebut Tomuan mirip dengan bahasa di daerah kabupaten Ketapang propinsi Kalimantan Barat.

Menurut Ethos, deklarasi kali ini untuk memastikan bahwa pengakuan masyarakat betul-betul serius dan ada kawasan Dahas Bolau. Sejauh ini orang mengakui setelah digusur, sekarang di kawasan Dahas Bolau dilakukan sebelum digusur, walaupun kawasan ini sudah masuk dalam kawasan HGU.

Namun, masyarakat ingin bahwa perusahaan dapat melepaskan kawasan Dahas Bolau ini untuk masyarakat Dayak Tomun. Hal inilah yang mendorong masyarakat melakukan deklarasi di kawasan Dahas Bolau. Setelah deklarasi dilanjutkan dengan pengangkatan atau pembentukan Badan Pengelola Kawasan Adat yang diketuai oleh Uberlin Rewel.

Melalui HP, Uberlin Rewel menjelaskan kepada KR akhir Oktober, pasca deklarasi. Bahwa dampak negatipnya belum ada melainkan dampak positipnya masyarakat semakin mempertahankan hutan adat ini. “Walapun ada isu sekelompok masyarakat membentuk kelompok tani yang ingin mengelola kawasan Dahas Bolau namun sekarang agak reda, mudah-mudahan tidak berlanjut,” kata Uberlin.

Uberlin menambahkan, pro kontra terjadi setelah deklarasi. Cukup banyak dari masyarakat yang pro dan yang kontra ada dari pemerintah tapi tidak hanya sebagian saja. “Tanggapan dari pemerintah daerah, pak Bupati merespon baik dan mendukung deklarasi ini,” jelasnya.

“Kegiatan ini dilakukan selama dua hari yaitu pada tanggal 17-18 Mei 2010 lalu. Hari pertama dimulai dengan Mambia Tanah,“. Ditegaskan oleh Balian (pimpinan upacara adat Dayak) bila ada yang mengganggu akan dicabut nyawanya, kata Ethos.

Ethos melanjutkan, hari kedua baru dilaksanakan deklarasi yang dipimpin oleh Damang kepala adat Tjangkal Sepenar. “Saya pada waktu itu diminta secara khusus oleh mereka untuk hadir, makanya saya berangkat ke Tapin Bini” jelasnya. Pada hari kedua juga dikukuhkan badan pengelola kawasan dan badan pertimbangan.

Sisi lain, menurut Uberlin Lewel pihak PT. Pilar Wana Persada menolak deklarasi ini karena ini diputuskan secara sepihak dan kawasan ini sudah masuk dalam HGU perusahaan. “Mereka memberikan surat kepada kami yang ditembusan kepada Lurah dan Bupati. Isi suratnya menolak deklarasi karena di deklarasikan secara sepihak, padahal undangan sudah diberi, tapi tidak datang waktu diundang,” jelas Uberlin.

Sementara itu, Agus mengatakan bahwa pihak perusahaan sudah mengetahui pelaksanaan deklarasinya. “Hanya luas kawasan yang belum mencapai kata sepakat, secara prinsip perusahaan sudah mengenclave kawasan Dahas Bolau. Dari pertimbangan topografi ada wilayah yang cukup datar yang masih dapat dikelola oleh pihak perusahaan. Apabila topografi agak curam itu akan dienclave, “ jelas Agus. Sebagai dasar pertimbangan lahan yang dienclave terdapat situs budaya di wilayah HGU juga tingkat topografi, jelasnya.

“Ke depan kawasan ini tetap lestari baik dan aman terkendali, karena ada situs-situs bersejarah dari masyarakat, ada tanam tumbuh, rotan pohon durian dan lain-lain, kami tetap mempertahankan hak adat,” harap Uberlin.

Acara ini ditutup dengan pembacaan deklarasi oleh ketua Badan Pengelola Kawasan (BPK) Hutan Adat Dahas Bolau, Uberlin Rewel. Di depan tugu yang terbuat dari batu semen yang dilapisi keramik berwarna biru. Pada bagian depan akan dibuat prasasti dari marmer dan pada bagian atas ini dibuat serupa pohon kayu dari beton.

Semoga tugu ini menjadi saksi sejarah masa kini dan masa depan kearifan orang Dayak Tomun menjaga hutan dan kehidupannya, walaupun ada persoalan yang masih perlu di benahi.

Sejarah Dahas Bolau

Kawasan hutan adat Dahas Bolau ini seluas 1.941 hektar, ini adalah melalui proses enclave atau zona khusus. Sebelum kemerdekaan cikal bakal desa Tapin Bini, Bokunsu dan Sekoban berawal dari tempat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tanam tumbuh seperti durian dan kuburan lama. Nama makam itu adalah Dahas Bolau.

Di tempat ini ada pemukiman tempat tinggal dari orang-orang turunan Dahas Bolau, sehingga pada saat ada masuknya perusahaan sawit PT. Pilar Wana Persada yang mengelola itu kawasan itu hingga memiliki Hak Guna Usaha(HGU). Pihak perusahaan beroperasional dan bekerja dengan berdasarkan peta. Dalam peta kawasan Dahan Bolau ini adalah kawasan yang termasuk di HGU.

Kondisi ini akhirnya membuat masyarakat agar kampung lama ini tetap di jaga, ini berarti dikeluarkan dari kawasan HGU, jangan sampai menjadi kebun sawit. Masyarakat adat Dayak Tomun (baca orang desa Tapin Bini) bekerjasama dengan NGO Lembaga Studi Pemberdayaan Masyarakat Adat dan Advokasi (LAMAN) didukung oleh Walhi Kalteng dan Sawit Watch serta berbagai pihak melakukan pelatihan pemetaan untuk memetakan kawasan hutan adat Dahas Bolau, hal ini disambut baik oleh perusahaan PT. Pilar Wana Persada.
Dalam kawasan yang luasnya kurang dari 2.000 hektar ini ada kuburan tua dan itu dimiliki secara turun temurun. Karena sudah turun temurun maka dianggap sebagai kepemilikan kolektif. Jumlah kuburan tua ini masih dalam tahap inventarisasi oleh BPK hutan adat Dahas Bolau.

Tulisan ini juga dimuat di majalah Kalimantan Review edisi Nopember 2010. halaman 31.

Read More......

MENDAPAT GELAR DAYAK, USKUP NAIK TRAKTOR


Usup Ketapang Mgr Blasius Pujaraharja, Pr sata menerima gelar adat Dayak. Peringatan Hari Pangan Sedunia Keuskupan Ketapang berlangsung di Paroki Santo Petrus Rasul Nanga Tayap. Jarak paroki ini kurang lebih 200 kilometer dari Kota Ketapang.

Dalam acara itu, ditampilkan tumpeng dari bahan pangan lokal sebanyak 75 buah, persembahan dari umat yang berasal dari pusat sampai pelosok paroki. Ini untuk merayakan kegembiraan, bahwa tahun 2010 ini Uskup Ketapang Mgr Blasius Pujaraharja Pr memasuki usia 75 tahun.

Acara berlangsung 11 Oktober 2010, dan menjadi kenangan tersendiri bagi Mgr Puja, panggilan akrabnya. Karena pada peringatan ini, Mgr Pujo mendapat gelar kehormatan dari masyarakat Dayak setempat.

Sejak itu, Uskup Pujaraharja bergelar Gemale Keputot Cangkar Temage Pencinte Damai Semua Bangse. Artinya adalah seorang tokoh panutan yang mencintai kedamaian dan mencintai semua masyarakat.

Demong adat setempat menjelaskan, gelar Gemale Keputot ini adalah gelar tertinggi dalam masyarakat adat Dayak Kayong Ketapang. Hal yang tidak terlupakan dalam kegiatan tersebut, adalah bahwa dalam perjalanan dari Kota Ketapang menuju Kecamatan Nanga Tayap, uskup itu harus diangkat memakai traktor.

Wah, apa pasal? Saat itu hujan, jalan licin, dan di jalan menuju Nanga Tayap ada yang baru ditimbun. Mobilnya nyangkut, Mgr Puja harus turun dari mobil dan berjalan kaki. Malangnya, Uskup Puja terjebak dalam kubangan lumpur sampai ke pangkal paha.

"Saya tidak bisa bergerak. Maju tidak bisa, mundur tidak bisa. Terpaksa saya diangkat pakai traktor,” kenang Uskup Puja.

Ya, gara-gara jalan jalan becek, jadilah pemegang gelar tertinggi Gemale tersebut, harus diangkat traktor. Lepas dari kejadian tersebut, Uskup Pujo tetap senang melihat partisipasi umat.

"Saya senang, dalam kegiatan Hari Pangan ini, umat dari berbagai wilayah sangat antusias terlibat. Mereka datang dari berbagai pelosok, padahal, sekarang lagi musim hujan dan sulit transportasi”, ucapnya. (*)

Sumber: kompas.com
Sumber foto: stat.k.kidsklik.com

Read More......

IBAN HISTORY IN BRIEF


The Ibans are a branch of the Dayak peoples of Borneo. In Malaysia, most Ibans are located in Sarawak, a small portion in Sabah and some in west Malaysia. They were formerly known during the colonial period by the British as Sea Dayaks. Ibans were renowned for practising headhunting and tribal/ territorial expansion. A long time ago, being a very strong and successful warring tribe, the Ibans were a very feared tribe in Borneo. They speak the Iban language.

Today, the days of headhunting and piracy are long gone and in has come the modern era of globalization and technology for the Ibans. The Iban population is concentrated in Sarawak, Brunei, and in the West Kalimantan region of Indonesia. They live in longhouses called rumah panjai. Most of the Iban longhouses are equipped with modern facilities such as electricity and water supply and other facilities such as (tar sealed) roads, telephone lines and the internet. Younger Ibans are mostly found in urban areas and visit their hometowns during the holidays. The Ibans today are becoming increasingly urbanised while (surprisingly) retaining most of their traditional heritage and culture.

The origin of the name Iban is a mystery, although many theories exist. During the British colonial era, the Ibans were called Sea Dayaks. Some believe that the word Iban was an ancient original Iban word for people or man. The modern-day Iban word for people or man is mensia, a slightly modified Malay loan word of the same meaning (manusia).

The Ibans were the original inhabitants of Borneo Island. Like the other Dayak tribes, they were originally farmers, hunters, and gatherers. Not much is known about Iban people before the arrival of the Western expeditions to Asia. Nothing was ever recorded by any voyagers about them.

The Ibans were unfortunately branded for being pioneers of headhunting. Headhunting among the Ibans is believed to have started when the lands occupied by the Ibans became over-populated. In those days, before the arrival of western civilization, intruding on lands belonging to other tribes resulted in death. Confrontation was the only way of survival.

In those days, the way of war was the only way that any Dayak tribe could achieve prosperity and fortune. Dayak warfare was brutal and bloody, to the point of ethnic cleansing. Many extinct tribes, such as the Seru and Bliun, are believed to have been assimilated or wiped out by the Ibans. Tribes like the Bukitan, who were the original inhabitants of Saribas, are believed to have been assimilated or forced northwards as far as Bintulu by the Ibans. The Ukits were also believed to have been nearly wiped out by the Ibans.

The Ibans started moving to areas in what is today’s Sarawak around the 15th century. After an initial phase of colonising and settling the river valleys, displacing or absorbing the local tribes, a phase of internecine warfare began. Local leaders were forced to resist the tax collectors of the sultans of Brunei. At the same time, Malay influence was felt, and Iban leaders began to be known by Malay titles such as Datu (Datuk), Nakhoda and Orang Kaya.

In later years, the Iban encountered the Bajau and Illanun, coming in galleys from the Philippines. These were seafaring tribes who came plundering throughout Borneo. However, the Ibans feared no tribe, and fought the Bajaus and Illanuns. One famous Iban legendary figure known as Lebor Menoa from Entanak, near modern-day Betong, fought and successfully defeated the Bajaus and Illanuns. It is likely that the Ibans learned seafaring skills from the Bajau and the Illanun, using these skills to plunder other tribes living in coastal areas, such as the Melanaus and the Selakos. This is evident with the existence of the seldom-used Iban boat with sail, called the bandung. This may also be one of the reasons James Brooke, who arrived in Sarawak around 1838, called the Ibans Sea Dayaks. For more than a century, the Ibans were known as Sea Dayaks to Westerners.

Religion, Culture and Festival

The Ibans were traditionally animist, although the majority are now Christian, some of them Muslim and many continue to observe both Christian and traditional ceremonies, particularly during marriages or festivals.

Significant festivals include the rice harvesting festival Gawai Dayak, the main festival for the Ibans.Other festivals include the bird festival Gawai Burong and the spirit festival Gawai Antu. The Gawai Dayak festival is celebrated every year on the 1st of June, at the end of the harvest season, to worship the Lord Sempulang Gana. On this day, the Ibans get together to celebrate, often visiting each other. The Iban traditional dance, the ngajat, is performed accompanied by the taboh and gendang, the Ibans’ traditional music. Pua Kumbu, the Iban traditional cloth, is used to decorate houses. Tuak, which is originally made of rice, is a wine used to serve guests. Nowadays, there are various kinds of tuak, made with rice alternatives such as sugar cane, ginger and corn.

The Gawai Burong (the bird festival) is held in honour of the War God, Singalang Burong. The name Singalang Burong literally means “Singalang the Bird”. This festival is initiated by a notable individual from time to time and hosted by individual longhouses. The Gawai Burong originally honoured warriors, but during more peaceful times evolved into a healing ceremony. The recitation of pantun (traditional chants by poets) is a particularly important aspect of the festival.

For the majority of Ibans who are Christians, some Chrisitian festivals such as Christmas, Good Friday, Easter, and other Christian festivals are also celebrated. Most Ibans are devout Christians and follow the Christian faith strictly.

Despite the difference in faiths, Ibans of different faiths do help each other during Gawais and Christmas. Differences in faith is never a problem in the Iban community. The Ibans believe in helping and having fun together. This is ironic for a tribe who once waged war with others due to differences.

Musical & Dancing Heritage

Iban music is percussion-oriented. The Iban have a musical heritage consisting of various types of agung ensembles – percussion ensembles composed of large hanging, suspended or held, bossed/knobbed gongs which act as drones without any accompanying melodic instrument. The typical Iban agung ensemble will include a set of engkerumungs (small agungs arranged together side by side and played like a xylophone), a tawak (the so-called ‘bass’), a bendai (which acts as a snare) and also a set of ketebung (a single sided drum/percussion).

The Iban as well as the Kayan also play an instrument resembling the flute called ‘Sape’. The Sape is the official musical instrument for the Malaysian state of Sarawak. It is played similarly to the way rock guitarists play guitar solos, albeit a little slower, but not as slow as blues. One example of Iban traditional music is the taboh.

The Ibans perform a unique dance called the ngajat. It serves many purposes depending on the occasion. During Gawais, it is used to entertain the people who in the olden days enjoy graceful ngajats as a form of entertainment. Iban men and women have different styles of ngajat. The ngajat involves a lot of precise body-turning movements. The ngajat for men is more aggressive and depicts a man going to war, or a bird flying (as a respect to the Iban god of war, Singalang Burong). The women’s form of ngajat consists of soft, graceful movements with very precise body turns. Each ngajat is accompanied by the taboh or the body.

Branches Of Iban Peoples

Although Ibans generally speak a dialect which is mutually intelligible, they can be divided into different branches which are named after the geographical areas where they reside.

Majority of Ibans who live around the Lundu and Samarahan region are called Sebuyaus.
Ibans who settled in areas in Serian district (places like Kampung Lebor, Kampung Tanah Mawang & others) are called Remuns. They may be the earliest Iban group to migrate to Sarawak.
Ibans who originated from Sri Aman area are called Balaus.
Ibans who come from Betong, Saratok & parts of Sarikei are called Saribas.
The Lubok Antu Ibans are classed by anthropologist as Ulu Ai Ibans.
Ibans from Undup are called Undup Ibans. Their dialect is somewhat a cross between the Ulu Ai dialect & the Balau dialect.
Ibans living in areas from Sarikei to Miri are called Rajang Ibans. They are the majority group of the Iban people. They can be found along the Rajang River, Sibu, Kapit, Belaga, Kanowit, Song, Sarikei, Bintangor, Bintulu and Miri. Their dialect is somewhat similar to the Ulu Ai dialect.

In Kalimantan (Indonesian part of Borneo), Iban people are even more diverse. The Kantu, Air Tabun, Semberuang, Sebaru’ , Bugau, Mualang & along with many other groups are classed as “Ibanic people” by anthropologist. They can be related to the Iban either by the dialect they speak or their custom, ritual & their way of life.

Sumber: kayaubaru.blogspot.com
Sumber foto: blogspot.com

Read More......

FRIDOLIN UKUR


Pemirsa televisi pada tahun 1970-an mengenal dia sebagai pendeta berpeci. Sebulan sekali ia tampil di Mimbar Protestan TVRI. Bahasanya khas dengan banyak idiom. Kalimatnya sering puitis, bahkan dalam khotbahnya ia pun acap berpuisi. Ia pun suka menggunakan kata-kata asbstrak seperti bahan kelampauan, isi kekinian, atau harga keakanan. Pemirsa perlu berpikir dua kali untuk memahami isi khotbahnya. Tetapi khotbahnya yang sering diselingi senyum disukai banyak orang karena berbobot dan memikat. Pendeta berpeci itu adalah Fridolin Ukur (1930-2003).

Ukur jauh melebihi saya dalam segala hal. Ia sudah menjadi mahasiswa STT Jakarta ketika saya masih murid SD di Bandung. Tetapi kemudian hari jalan hidup kami bersilang.

Ketika saya menjabat pengurus GMKI cabang Malang, dua kali saya menjadi tuan rumah Ukur yang berkunjung sebagai sekretaris umum GKMI pusat untuk melakukan latihan kepemimpinan. Langsung saya mendapat kesan bahwa ukur berwatak gesit, sadar waktu, dan suka kerja keras. Ia meminta agar kunjungannya selama lima hari itu dijadwal secara ketat dan padat. Ia tidak mau membuang waktu. Watak itu terus tampak secara konsisten dalam persahabatan kami selama 45 tahun.

Pada pembukaan latihan kepemimpinan itu, Ukur mengacu ke ayat yang berbunyi, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus aku, selama masih siang. Akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh. 9:4).

Lalu Ukur berkata kurang lebih, “Kalian adalah benih unggul. Masa hidup di kampus cuma lima tahun. Jangan sia-siakan masa lima tahun ini dengan bersantai atau berpacaran. Tetapi gunakan ini sebagai kesempatan menumbuhkan benih unggul di dalam dirimu. Kembangkan jiwa pengabdian dan kepemimpinanmu. Jadilah guru sekolah Minggu, pengurus pemuda, atau pengurus kepanduan. Lahap semua buku di perpustakaan. Baca semua koran dan simak problematik masyarakat. Siapkan diri menjadi pemikir yang kelak menyumbangkan pemikiran bagi masyarakat dan gereja. Jadilah mahasiswa unggul yang lulus cum-laude. Nanti jadilah jaksa yang kejujurannya unggul. Jadilah dokter yang terapinya unggul. Jadilah pendeta yang khotbahnya unggul. Apa pun profesimu, kamu mengerjakan pekerjaan Allah jika perilaku dan kinerjamu menjadi kesaksian yang patut diteladani.”

Pada malam itu dibecak kami berdua tidak banyak bercakap-cakap karena letih. Tetapi demi kesopanan, saya berbasa-basi, “Bapak baru pulang dari Jerman. Apa kesan Bapak tentang mahasiswa teologi di Jerman? Ukur menjawab, “Mahasiswa di sana punya banyak buku . mereka banyak membaca. Mereka banyak menulis paper. Pokoknya banyak kerja tetapi makannya juga banyak dan enak” lalu ia tertawa sambil menceritakan makanan Jerman. Pada saat itu kami berdua betul-betul lapar.

Setelah masa jabatannya di GMKI pusat selesai, Ukur kembali ke Gereja Kalimantan Evangelis. Ia menjadi pendeta jemaat dan rektor STT Banjarmasin. Kemudian hari selama delapan tahun dia menjadi direktur lembaga penelitian PGI, guru STT Jakarta, sekretaris umum PGI dan konsultan BPK Gunung Mulia.

Sementara itu, Ukur digemari oleh banyak kalangan sebagai penceramah favorit karena pembawaanya yang kocak. Ceramahnya padat dan singkat. Ia cakap bercerita. Hadirin meledak dalam tawa jika ia menceritakan anekdot yang nyerempet politik atau nyerempet pornografi.

Sumbangsih Ukur yang lebih khas adalah tulisannya. Ia banyak menulis di Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Berita Oikumene. Sebagai sastrawan dan penyair ia juga banyak menulis puisi. Dua buku kumpulan puisinya diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan judul Darah dan Peluh dan Wajah Cinta.

Watak Ukur yang sadar waktu dan suka bekerja keras tersirat di sana-sini dalam tulisannya dan terutama dalam puisinya. Tulisannya,

Waktu pun berbisik:
Pengalaman yang berserakan
Jejak-jejak yang ditinggalkan
Adalah kelopak-kelopak bunga cinta,
Sebuah bunga rampai
Mekar di tangkai;
Seperti bianglala menganyam mimpi
Meraih, menggapai, memeluk fajar
Sebuah harapan tak pernah pudar!

Aku pun ikut berbisik:
Perjalanan ini, sayang
Bukannya ruang sempit dan lorong sepi!
Kembara ini, kasih
Adalah jalan lebar menyemai cinta
Di atas bumi
Di antara sesama ….

Tersirat dalam banyak puisi Ukur bahwa tiap hari merupakan perlombaan lari. Ukur merasa diri berlari, bukan seorang diri melainkan dengan sang waktu, ia berpacu dengan waktu, ia dan waktu berlari bersama tiap hari, namun sering ia merasa ditinggal oleh waktu. Ia merasa dikhianati oleh waktu. Tulisnya:

Apakah waktu mengkhianati aku
Ketika aku disibuki dengan ceramah
Ketika aku berkhotbah tentang
Cakar hitam dan pagi biru,
Ketika gairah kuhabiskan di konferensi
Dan rapat-rapat…
Masih ada waktu melempar bayang
Menanya diri dan kesilaman:
Tentang khianat dan bakti
Tentang dosa dan pengampunan suci
Tentang kawan berdoa pengisi sunyi…

Walaupun Ukur disibukkan oleh banyak pertemuan oikumenis, namun ia tetap merasa tertanam di bumi Kalimantan. Bagi Ukur, Gereja Kalimantan Evangelis adalah bagaikan ibu pengasuhnya. Sebab itu ia terus menggumuli hubungan iman Kristen dengan budaya Dayak melalui banyak penelitan lapangan dan kepustakaan. Bagi agama suku Dayak, atau agama Kaharingan, bumi adalah tempat tinggal daya-daya gaib yang tidak tampak. Supaya daya-daya gaib itu tidak menimbulkan bencana, manusia harus memelihara keserasian dengan alam melalui upacara adat. Studi lanjut Ukur di Swiss dan disertasinya di STT Jakarta adalah tentang hubungan iman dan budaya.

Ukur memandang Kalimantan sebagai ladang pekerjaan Allah yang penuh dengan tuaian, namun kekurangan penuai, sejajar dengan ucapan Yesus yang berbunyi, “ …Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang mempunyai tuaian, supaya ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Mat. 9:37-38).

Kedekatan Ukur dengan bumi Kalimantan tampak dalam bukunya yang berjudul Tuaiannya Sungguh Banyak – Sejarah Gereja Kalimanan Evangelis. Ia menggambarkan pulau Kalimantan sebagai “hutan rimba … ngeri menyeramkan, sungai-sungai yang menganga lebar … berhari-hari berlayar tidak jua bersua kampung”. Gereja di Kalimantan mulai tumbuh pada tahun 1920-an dengan nama Gereja Dayak Evangelis berkat pengorbanan para misonaris dari Swiss.

Dalam buku itu Ukur juga menceritakan langkah-langkah pertama pewartaan injil di bumi Kalimantan, yaitu melalui pembangunan sekolah penyuluh kesehatan, sekolah perawat, sekolah pertanian, sekolah guru dan sekolah teologi. Serempak juga dibangun percetakan yang mencetak buku-buku Kristen dalam berbagai dialek Dayak, yaitu bahasa Ngaju, Maanyan, Ot Danum, Samihin dan yang lainnya. Pendeta yang pertama lulus pada tahun 1937. Mereka terdiri dari tiga belas orang etnik Dayak dan seorang etnik Tionghoa.

Sejak awal umat sudah dididik untuk beribadah secara tertib dan teduh, tidak terlambat, dan tidak gaduh. Ukur mengutip peraturan tahun 1934 yang berbunyi, “… maka haruslah segala orang jemaat itu sudah sedia duduk pada tempatnya dengan diam-diam …setelah orang banyak menyanyi pada pertama kalinya, maka pintu ditutup dan dikunci. Barang siapa datang sesudah itu, haruslah menunggu di luar….”.

Masih ada beberapa buku lain tulisan Ukur yang tidak disebut di sini. Ia menulis terus sampai akhir hayatnya. Ketika tubuhnya kian lemah termakan penyakit, tiap hari ia masih menulis di rumah atau di rumah sakit. Tiap hari terjadwal dengan ketat. Ia hanya beristirahat sebentar untuk meneguk kopi, mengisi teka-teki silang, atau membaca cerita cowboy, lalu menulis lagi.

Ukur hidup dalam kesederhanaan sering ia berkata bahwa ia tidak punya apa-apa, mungkin karena memang tidak perlu punya apa-apa. Dalam penggalan puisinya ia menulis,
Lalu hari-hari kesulitan,
Selalu bertaut keriaan dan kerelaan…
Puisi kehidupan kian matang
Tentang penyerahan dan cinta.
Kita memang tak punya apa-apa
Kecuali cinta!

Berkali-kali Ukur dirawat di rumah sakit. Pernah ia sama-sama dirawat di rumah sakit yang sama dengan Dick Maitimoe, yang juga lulusan STT Jakarta. Lalu di situ Maitimoe meninggal dunia. Penggalan puisi kesedihan Ukur berbunyi,
Makin terasa
Kita tengah berpacu dengan waktu
Antara tugas panggilan suci
Terus menanti
Dengan tubuh yang tambah rapuh
Dimakan usia tambah menua
Dalam lomba ini
Kau mendahului kami
Pulang ke rumah Bapa
hari ini!

Sepanjang jalan hidupnya, tidak ada waktu yang disia-siakan oleh Ukur. Ia terus bekerja. Walapun hidupnya berakhir dengan keringkihan dan kerentaan, namun seluruh masa hidupnya telah menjadi berkat bagi kalangan yang luas. Tulisnya,
Karena langkah-langkah kaki kita
Sudah terseret, selangkah-selangkah
Tidak lagi semantap dulu!
Tak usah risau
Tak usah resah
Telah kita tanami bibit cinta
Telah kita semai benih-benih kasih
Di sepanjang perjalanan pengabdian…

Salah satu puisi Ukur yang terakhir dan belum dipublikasikan bertutur lirih,

Dalam penantian ini
Diri tejepit antara gunung kehidupan dan tubir kematian
Keduanya menawarkan pengharapan
Kehidupan kekinian, di sini
Kehidupan keakanan , di sana …

Benih unggul dalam diri Fridolin Ukur telah berbuat lebat. Ia telah menjadi tuaian dan penuai di ladang pekerjaan Allah. Ia telah menuai selama masih siang dan … tuaiannya sungguh banyak!.

Sumber: Selamat Bergereja, Andar Ismail. Halaman 19-25.
Sumber foto: profile.ak.fbcdn.net

Read More......

PDT. Dr. MARKO MAHIN, S.Th: Mengubah Bahasa, Mengubah Etnis


Kondisi sekarang kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah semakin terhimpit oleh budaya-budaya “modern”. Hal ini menyebabkan banyak anak muda Dayak yang tidak tahu bahkan tidak pernah melihat lagi kebudayaan leluhurnya. Budaya Huma Betang yang bernafaskan kebersamaanpun semakin luntur, di warnai oleh kepentingan-kepentingan non Dayak.


Awal Mei lalu KR berkesempatan bertemu dan mewawancarai Pdt. Dr. Marko Mahin, S.Th saat berada di Palangka Raya. Antropolog muda Dayak ini dengan antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh KR, berikut petikannya:

Sikap anda terhadap nilai-nilai budaya Dayak yang semakin luntur?

Sebagai antropolog saya mau realistis melihat bahwa tidak ada budaya yang menetap dan selalu dalam keadaannya begitu-begitu saja dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun. Kebudayaan itu bergerak dinamis, cair, akan mengalami perubahan-perubahan. Bisa saja ada bagian yang hilang, berkembang, ada bagian yang beradaptasi dengan baik dan itu masih kita jumpai sekarang.
Ada juga yang tidak bisa beradaptasi dengan baik karena mengalami inovasi-inovasi dan perubahan-perubahan. Jadi masalah apakah dia semakin luntur atau tidak, itu tergantung cara kita melihat. Ada beberapa bagian budaya kita yang memang harus kita lunturkan dengan sengaja.
Misalnya budaya pinjam meminjam, kita meminjam, kalau ada pinjam, anda harus kembalikan. Anda bukan meminta dan barang itu bukan diberikan. Jadi memang ada budaya yang memang harus kita lunturkan dengan sengaja. Lalu kemudian budaya-budaya tertentu yang negatip ini harus dilunturkan dengan sengaja. Tapi yang positipnya harus dikembangkan. Nah ... perdebatan budaya yang luntur ini memang ada bagian yang harus kita angkat, ini semakin dipertegas.

Kondisi selama ini budaya Dayak Kalimantan Tengah, menurut anda lebih banyak diangkat atau dihilangkan?

Kita tidak bisa menghitung persentase kebudayaan itu ya, kalau kita berbicara kebudayaan itu kita berbicara gerak bukan berbicara kuantitatif yang persennya berapa. Jadi geraknya cukup dinamis.
Misalnya dulu orang Kalimantan tidak pernah terpikir territorial, mereka hanya berfikir berdasarkan alur sungai. Pembagian dunianya berdasarkan sungai, tapi ketika mereka bertemu dengan state, dengan Negara Indonesia mereka mulai berfikir, territorial kami ada di wilayah ini dan mulai berfikir provinsional. Itu berarti sungai tidak compatible dengan jaman, tetapi kita dengan cepat merubah itu. Makanya muncul Kalimantan Tengah, yang tidak mau berfikir menggunakan alur sungai lagi tetapi dengan cara territorial, saya pikir itu bagus.
Kalau dilihat yang luntur-lunturnya ada beberapa harus kita akui memprihatinkan. Bahasa misalnya, bahasa itu jelas indicator kelunturan, kalau kita tidak mau melihat tergerus. Ada banyak orang yang sudah malu berbahasa Dayak, tidak bisa berbahasa Dayak bahkan dengan terang-terangan mengajar anaknya di rumah bukan bahasa ibu. Saya senang kalau berbahasa Inggris atau bahasa Indonesia, tapi jangan bahasa daerah juga, masa memiliki bahasa daerah sendiri lebih bangga memakai bahasa daerah yang lain, itu yang mungkin jelas terlihat.

Selain bahasa apa, misalnya kesenian Dayak yang lain?

Kalau kita melihat secara kuantitatif selain bahasa ya ... agama. Jelas orang-orang Dayak dulu pada mulanya adalah Kaharingan semua. Karena invasi dari agama besar akhirnya hanya tinggal sekitar 200.012 orang yang Kaharingan dan akibatnya karena Kaharingan sebagai pandangan hidup tersisihkan itu berakibat langsung ke lingkungan hidup.

Ya... karena ajaran agama-agama semic, kemudian kedatangan laju pembangunan yang tidak terkontrol, kemudian kedatangan investor yang merajalela alam kita hancur. Padahal dulu sebelum ada itu, orang sangat bersahabat dengan alam dan merupakan bagian dari alam. Jadi konsep penaklukan dunia itu jelas sekali impactnya ke lingkungan hidup, alam ditaklukan, dikeruk, dimanfaatkan sehabis-sehabisnya. Sampai sekarang kan sisanya lingkungan kita yang rusak.

Penilaian anda terhadap tokoh-tokoh tua Dayak sekarang , apakah mereka turut mewariskan atau malah melunturkan budaya-budaya Dayak itu sendiri?, misalnya tadi orang tua malah mengajarkan bahasa ibu yang lain kepada anaknya?

Kita harus perjelas dulu mengenai orang tua ini dan orang tua yang secara posisi sosial (para tua-tua adat) adat yang sebagai orang tua biologis adalah victim atau korban dari proses dedayaktisasi yang berpuluh-puluh tahun.
Jadi dia merasa menjadi Dayak itu rendah, primitive, ketinggalan jaman, kampungan, udik. Lalu dalam rangka adaptasi dan pertahanan diri dia mencoba memakai bahasa yang lain, itu terjadi semenjak abad ke-14 ketika orang-orang Dayak mulai konversi ke Islam mereka wajib mengganti bahasa ibunya memakai bahasa Melayu, karena sebenarnya bukan mengganti etnis tapi mengganti bahasa. Tapi ketika anda mengganti bahasa otomatis mengganti etnis.

Pesan dan harapan anda untuk mewariskan budaya-budaya Dayak?

Saya tidak berbicara mengenai pewarisan-pewarisan, tapi lebih bagus saya menggunakan kata pengelolaan. Kalau saya mewariskan berarti ada satu benda yang bisa berupa Mandau, Guci, sehingga saya tidak mau dengan konsep museumnisasi yang melihat kebudayaan hanya sebagai artefak-artefak.

Tapi saya mau melihat budaya itu sebagai nilai, secara universal, mulia, luhur dalam kebudayaan Dayak itu harus kita kembangkan, kapan perlu itu harus kita sebarkan ke orang-orang lain. Kebudayaan ramah terhadap alam melihat Tuhan itu ada di sekitar dirinya itu penting.

Budaya Huma Betang

Pandangan anda terhadap budaya Huma Betang bagaimana?

Secara jujur saya tidak pernah tinggal lama di rumah betang, tapi saya pernah berkunjung dan diam di rumah betang sewaktu saya mengadakan penelitian. Misalnya di daerah Tumbang Malahoi, Kalimantan Tengah, di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur juga di Kalimantan Barat.
Bagi saya budaya betang yang paling baik itu adalah sebenarnya budaya komunal dan kebersamaannya. Jadi komunal itu adalah sehati, sepikir, sejiwa, sepenanggung, seperasaan, saling memperhatikan walapun ada sisi negatifnya juga, kita harus akui tidak semua betang itu positif.
Misalnya karena menerapkan budaya komunalisme, ada orang yang bermental parasit dan malas bekerja sehingga menggerogoti system itu, karena dia pikir walaupun tidak bekerja saya pasti mendapat bagian dari komunitas saya. Dalam istilah antropologi itu Tragedy of Command, kebersamaan-kebersamaan itu justru dipakai oleh sekelompok orang untuk menggerogoti system. Kalau sistemnya bisa berjalan, orang yang bermental parasit itu akan dipelihara.
Budaya betang juga menghalangi orang yang bermental kompetisi, karena di dalam konsep komunalisme itu tidak boleh ada yang lebih menonjol dalam ekonomi maupun pemikiran. Semuanya harus bulat dan rata, dalam bahasa dayak ngaju dikenal “paras kajang”. Walaupun kita punya kelebihan itu harus ditahan, jangan ditonjolkan, itu membuat orang Dayak yang punya kemampuan tidak terlalu diekspos, karena template kita berfikir kita begitu. Kalaupun punya kemampuan dan kapasitas, tahan dulu. Itu sisi negative budaya betang, dan kita harus berani mengkritisi, walaupun sisi positipnya kita menjunjung tinggi.
Saya juga menyukai budaya betang secara konsep, kita membangun konsep Negara mikro. Di dalamnya kita melihat ada kesejahteraan bersama dan kepemimpinan jelas oleh orang lokal, bukan oleh orang luar. Jadi sangat jelas demos rakyat setempat itu dihargai, Demos yang memimpin di situ bukanlah dropan-dropan orang luar, itu konsep Negara dalam tataran mikro dan itu penting untuk pemberdayaan. Yang perlu kita pikirkan jangan sampai rumah betang ini tenggelam dalam konsep state, Negara yang besar ini yang menghancurkan kita.

Langkah-langkah apa yang bisa kita ambil untuk mewariskan hal-hal positip itu?

Bagi saya yang perlu diwariskan adalah komunal yang dikenal dengan kebersamaan. Dalam bahasa sosial ini kan disebut modal sosial dan ini harus kita kembangkan. Efek barat yang paling buruk yaitu individualisme. Jadi hak-hak pribadi mesti dihargai, tapi kita di sini adalah komunalisme itu penting bagi gerakan sosial kita.
Bagi saya sekarang rumah betang itu imaginer, itu adalah rumah imagi orang-orang Dayak kita tinggal di rumah betang bersama Kalimantan Tengah, tapi masalahnya adalah spiritnya apa, kan kebersamaan. Kita tetap tinggal di rumah masing-masing tapi kita merasa bersama dengan yang lain itu yang harus disosialisasikan bahwa kita tinggal dalam satu rumah, kita harus menjaga, membersihkan, mengatur dengan baik dan tentu saja yang mengaturnya bukan orang lain.
Tidak boleh ada orang lain yang mengatur rumah tangga kita sendiri termasuk dengan tata undang-undangnya, kepemilikannya, agamanya tidak boleh orang lain mengatur kita harus mengikuti agama ini, agama itu.

Dalam hubungannya mewariskan budaya rumah betang , menurut anda apakah suhu politik di Kalteng mendukung untuk hal itu?

Di sini ada dua gerakan, pertama gerakan debetangnisasi, ada orang yang mau rumah betang itu utuh, tak mau dipilah-pilah menjadi kotak ini dan itu.
Kedua yang menarik lagi betang itu mau dibuat kabur konsepnya lalu akhirnya orang yang tadinya cuma tamu di rumah betang itu, dan ada di pelataran tiba-tiba dia bisa ada diruang utama dan memimpin rapat. Bagi saya konsep begitu bukan genuine Dayak dan menghianati konsep rumah rumah betang.

Dengan kata lain kita harus menghormati orang-orang lokal?

Saya 100% harus seperti itu, orang lokal bukan orang bodoh mereka tahu dan punya cara untuk mengatur negeri, rumah tangga, lingkungannya. Orang luar belum tentu tahu walaupun mungkin bisa, tetapi lebih baik orang setempat.

Tulisan ini juga dimuat di majalah Kalimantan Review (KR)
Sumber foto: www.ui.ac.id

Read More......

Syaer Sua, Hidupkan Huma Betang


”Cita-cita saya hanya satu. Jangan sampai adat budaya Dayak ditinggalkan. Saya lihat adat budaya kita makin tenggelam, lama-kelamaan nanti tinggal menjadi legenda.”


Kata-kata itu diucapkan Syaer Sua, seniman Dayak Ngaju, saat ditemui di tempat tinggalnya di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada Juni lalu. Impian melestarikan seni budaya itulah yang menggerakkan Syaer Sua membangun dua huma (rumah) betang tahun 2002-2008.

Untuk mewujudkannya,pria bernama lengkap Syaer Sua U Rangka ini mendirikan bangunan rumah panjang khas Dayak, Kalimantan Tengah, itu di Tumbang Manggu, kawasan hulu Sungai Katingan. Ia sengaja tak membangun huma di ibu kota provinsi itu, Palangkaraya, tempatnya menapaki masa remaja selepas lulus sekolah rakyat.

Tumbang Manggu adalah kampung asal orangtua Syaer. Dia sendiri lahir di Bukit Rawi, Kahayan Tengah, Kabupaten Katingan. Masa kecilnya dihabiskan di tempat itu sebelum pindah ke Palangkaraya.

Sebelum hidup dan bermukim di rumah-rumah tunggal, masyarakat Dayak Kalimantan mendiami huma betang. Rumah itu dihuni puluhan keluarga yang umumnya masih kerabat. Satu kampung biasanya memiliki satu huma betang.

Sampai kini hal itu masih dilakukan. Sebagian dari mereka tetap tinggal di rumah panjang. Namun, sebagian lainnya sudah meninggalkan huma betang. Mereka hanya berkumpul di rumah betang ketika ada upacara adat.

”Saya ingin mempertahankan budaya betang. Oleh karena itu, saya membangun ini (huma betang) meski biayanya tak terhitung,” katanya.

Syaer Sua tak goyah walau ada orang yang menilai pembangunan rumah betang itu pekerjaan ”pemimpi”, bahkan dianggap aneh. Ia tetap berusaha mewujudkannya.

Tahun 2002, ia mulai mencari pohon ulin atau belian (Eusideraoxylon zwageri) di hutan adat sebagai bahan baku utama. Rumah pertama itu kemudian diberi nama Betang Bintang Patendu.

Lantai Rumah yang selesai dibangun tahun 2003 itu memiliki ketinggian sekitar empat meter dengan fondasi sekitar 70 pohon ulin. Luas bangunan utama 171 meter persegi. Sedangkan bangunan kedua, yakni dapur dan ruang makan, luasnya 135 meter persegi.

Tahun 2005-2008 Syaer Sua membangun huma betang kedua bernama Balai Basara Bintang Semaya. Luas bangunan utama yang ditopang 80 pohon ulin sekitar 300 meter persegi dan bagian belakang 96 meter persegi.

”Pembuatannya lama. Selain menyesuaikan dana, bahan baku kayu ulin harus dicari ke dalam hutan selama dua-tiga bulan. Untung ada perusahaan perkayuan membantu pengangkutannya,” ujarnya.

Karungut dan RRI

Memiliki rumah betang, bagi Syaer Sua, tak sekadar wahana untuk menikmati hari tua. Tetapi, sebagai tempat pengembangan seni budaya Dayak di pedalaman Katingan. Oleh karena sebelumnya, tahun 1970-1980-an ia menekuni dan mengembangkan seni karungut di Palangkaraya.

Karungut merupakan seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai moral, adat, perjuangan, bahkan pesan semangat untuk membangun. Seni ini diiringi ketabung atau kecapi khas Dayak, kakanong, suling, dan gendang. Bersama seniman lain, Syaer Sua bermain karungut di Radio Republik Indonesia (RRI) Palangkaraya setiap Minggu malam.

Dari RRI, Syaer Sua kemudian dikenal sebagai salah satu pangarungut (seniman karungut) produkif. Ia tak hanya pandai melantunkan, tetapi juga mencipta ratusan judul karungut yang sifatnya spontan maupun tertulis.

”Saya lupa berapa banyak yang saya cipta, semua master rekamannya ada di RRI Palangkaraya,” katanya.

Syaer Sua juga populer. Pengemarnya tak hanya dari Palangkaraya, tetapi juga masyarakat di beberapa daerah pedalaman di Kalteng yang terjangkau siaran radio.

”Kami tahu karena kerap mendapat kiriman pesan dari pendengar di pelosok,” katanya.

Berkat kepiawaiannya, tahun 1970 Syaer Sua dipercaya pemerintah daerah tampil memainkan karungut serta tarian dayak di RRI dan TVRI Jakarta, termasuk pada peresmian Taman Mini Indonesia Indah. Bersama grup kesenian asal Kalteng, tahun 1992, Syaer Sua pentas di Spanyol, dan 1994 ia tampil di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Singapura.

Dalam empat kali lomba musik karungut tingkat Kalteng, Syaer Sua selalu juara, sampai-sampai ia tak boleh lagi ikut berlomba.

Dia juga menjadi andalan Kalteng dalam olahraga sumpit. Beberapa kali ia meraih medali emas. Dia juga pernah melatih atlet sumpit Kalteng untuk Pekan Olahraga Nasional. Tahun 2001, ia diminta Panglima Kostrad untuk melatih keterampilan menyumpit kepada pasukan khusus.

Enggan jadi pegawai

Syaer Sua bercerita, dia sempat beberapa kali mendapat tawaran dari gubernur Kalteng untuk menjadi pegawai negeri atau terjun dalam partai politik. Namun, semua tawaran itu dia tolak.

”Saya tidak mampu melakukannya. Saya tidak suka politik yang banyak bohong,” katanya.

Penghasilan Syaer Sua diperoleh, antara lain, dari pembuatan album musik karungut yang mencapai 20-an buah. Ratusan ribu keping VCD atau DVD album karungut Syaer Sua beredar di Kalteng. Selain penggemarnya, album Syaer Suar juga diminati para pakar musik etnik dari mancanegara.

Dia bukanlah satu-satunya seniman karungut di Kalteng. Sedikitnya ada 10 pangarungut yang masih bertahan. Banyak anak muda yang masih menekuninya, terbukti dari keikutsertaan mereka pada lomba seni tradisional Dayak.

Buah dari usaha Syaer Sua itu dirasakan warga Tumbang Manggu. Kampung yang ditempuh selama empat jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya ini menjadi salah satu tujuan wisata budaya dan alam yang menarik. Setiap tahun seratusan wisatawan mengunjungi kampung ini.

Mereka, antara lain, bisa menikmati karungut, belajar menyumpit, mencicipi minuman dan makanan khas warga setempat. Mereka juga bisa menjelajah hutan melalui riam-riam pada beberapa anak Sungai Katingan. Semua itu menjadi pengalaman tersendiri buat wisatawan yang merasakan tinggal di huma betang.

Pada perkembangannya, rumah betang menjadi terbuka bagi siapa saja yang cinta dan peduli seni budaya Kalimantan. Moto rumah ini: berbeda suku agama bukan penghalang, sudah membudaya dari nenek moyang, hidup rukun damai selalu berkembang, itulah yang disebut budaya betang.

”Saya tidak akan menyerah untuk bisa mewujudkannya,” demikian tekad Syaer Sua.

Sumber berita dan foto: kompas.com

Read More......

Anthony Nyahu: Lebih Baik Juling Daripada Buta


Keleh Mata Babilas Bara Babute. Lebih baik mata juling daripada buta. Demikian satu pepatah dalam Bahasa Dayak Ngaju yang ingin menyampaikan pesan, kurang lebih, lebih baik seadanya daripada tidak ada. Itulah analogi yang hendak disampaikan Anthony Nyahu (35), seorang linguis yang bekerja di Balai Bahasa Palangka Raya, tentang soal menuturkan Bahasa Dayak Ngaju di kalangan masyarakat Kalteng masa kini.

Tony, panggilan akrabnya, seorang putra Dayak dari Katingan yang terpanggil mengangkat nasib Bahasa Ngaju, lingua franca, bahasa pergaulan di antara sesama penduduk Kalteng ini. Nasib yang tak berpihak, karena baginya ada kesan bahwa bahasa ini sengaja atau tidak, sudah sedikit sekali dituturkan dalam percakapan keseharian masyarakat. Ia tak mau itu terjadi seterusnya, hingga bahasa ibunya tersebut pelan tapi pasti ditelan kepunahan, tidak eksis lagi.

Apakah hal ini merupakan produk sadar masyarakat yang lebih mengutamakan Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa sub-etnik lainnya? Tony berpendapat, masalah resistensi bahasa itu pilihan dari para penuturnya sendiri, kita mau atau tidak untuk merawat dan mempertahankannya. Hal itu tidak dapat dipaksakan kepada masyarakat non-Dayak, yang hadir di Kalteng, untuk turut menuturkannya, jika orang-orang Dayak sendiri tidak mau membudayakannya.

Jadi pemikiran Tony ialah orang-orang Dayak harus mau, secara positif, menjadikan Bahasa Ngaju itu sebagai bahasa tutur yang utama di rumah-rumah dan dalam pergaulannya, mendampingi Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa standar dalam dunia pendidikan dan pemerintahan di Kalteng. Jika tidak begitu, ia khawatir maka setelah satu generasi lagi, maka pasti Bahasa Ngaju itu punah.

Berbagai upaya sedang dikerjakan Tony guna mewujudkan misinya tersebut. Di antaranya, ia sedang mempersiapkan sebuah buku ajar bahasa daerah, sebagai muatan lokal, yang dipakai di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Walaupun diakuinya, sedikit sekali dukungan yang diperolehnya dari pemda yang mengurus hal itu. Memang perjuangan ini mendapat tentangan justru dari kelompok yang sebenarnya harus mempertahankan bahasa Ngaju itu sebagai miliknya.

Tony tetap berkarya. Beberapa artikel ditulisnya di berbagai media massa lokal guna menyampaikan pesannya agar Bahasa Ngaju itu dihargai dan diberikan tempat seharusnya. Ia juga aktif menggalang dukungan dari berbagai pihak, budayawan dan sejarawan, seperti dari JJ Kusni Sulang dan Nila Riwut, untuk mempersiapkan infrastruktur bahasa Ngaju mudah dipelajari dan dituturkan oleh generasi muda Dayak. Tony berupaya agar sintaksis dan tata bahasa tidak menjadi hambatan orang sulit mempelajari dan berbahasa Ngaju.

Sama seperti Gubernur Agustin Teras Narang sudah mempersiapkan infrastruktur jalan dan jembatan agar bisa mempermudah urusan dalam pembangunan Kalteng yang sejahtera dan bermartabat, maka Buku Kamus Bahasa Dayak Ngaju harus diterbitkan terlebih dulu untuk orang-orang mudah berbahasa Ngaju.

Setelah itu, barulah bisa bicara tentang penyempurnaan tata bahasa. Oleh karena itu, Tony menurunkan tiga prinsip agar Bahasa Ngaju itu lestari beberapa ratus tahun lagi. Harus ada kemauan menuturkan (maku bebasa), setia menggunakannya (patuh bebasa) dan pada akhirnya menuruti pakem (numun aturan) akan menyusul dengan sendirinya.

Biodata
Nama : Anthony Nyahu
Lahir : Katingan, 7 Agustus 1975
Profesi : Linguis di Balai Bahasa & Peminat Sastra Dayak
Pendidikan : Sarjana Bahasa Inggris Universitas Palangka Raya (1999)
Sumber berita/ foto: hariantabengan.com

Read More......

Mandau Ambang Birang Bitang Pojo Ayun Kayau

Judul Diatas adalah nama lengkap dari senjata khas Suku Dayak yang biasa juga disebut Mandau. Dilihat dari model dan bentuknya hampir mirip dengan Parang atau Golok namun apabila dilihat lebih detail Mandau mempunyai ciri khas tersendiri dari senjata lain.

Pada jaman dahulu mandau dibuat dari batu gunung yang mengandung unsur besi di dalamnya yang kemudian di tempa oleh pandai besi. Seorang pandai besi juga bukan sembarang yang mampu membuat mandau yang memiliki makna dan arti, karena ukuran mandau juga perlu dihitung menggunakan Amalan atau hitungan hitungan khusus, gunanya adalah agar tidak mencelakakan diri sendiri atau bisa juga bermakna tidak mencari musuh, pantang mundur dan lain-lain.

Seperangkat mandau terdiri dari sebilah mandau yang bertatahkan emas, perak atau tembaga, juga dihiasi dengan ukiran-ukiran khas Dayak. Pada pangkal biasanya terdapat rajah atau sejenis ukiran yang mengandung makna magis.

Pulang Mandau
atau gagang terbuat dari Tanduk Kerbau atau Tanduk Bajang (Rusa) atau bisa juga menggunakan kayu kayamihing pada ujungnya di tanamkan rambut biasanya rambut yang digunakan adalah hasil dari Kayau atau hasil pemenggalan kepala.

Tempat memegangnya dihiasai dengan anyaman jangang atau rotan dan untuk merekatkan mandau pada pulangnya tersebut menggunakan gita sambun (getah dari kayu sambun). Biasanya pulang mandau berukiran bentuk naga atau buaya. Pada bagian pengait.
Kumpang Mandau atau sarung mandau biasanya terbuat dari kayu pilihan, dihiasi dengan tanduk rusa dan diberi hiasan anyaman Tempuser Undang terbuat dari rotan yang sudah di belah kecil kecil.

Disamping bagian dalamnya di beri sebuah sarung kecil yang dibuat dari bulu binatang atau kulit kayu sebagai tempat untuk menyimpan Langgei Puai (pisau kecil dengan gagang panjang untuk mengukir meraut kayu) lalu buat menyematkan di pinggang dibuatkan tali yang dibuat dari rotan.

Read More......

Tekla Tirah Liyah: In defense of Kalimantan women


In a remote riverside village in East Kalimantan, one woman is taking on tradition and a patriarchal culture in her struggle to improve the lot of local women.

It takes two days of sailing against the strong currents of Mahakam River to reach Mamahak Tebok village in Long Hubung district in West Kutai regency.
From this village, Tekla Tirah Liyah has, since 1997, been motivating women in the downstream riverside hamlets to fight against gender discrimination and injustice.
The 42-year-old is one of the few women in Kalimantan taking on the patriarchal culture in communities bound by customs.
Tekla, born to Dayak Bahau parents, has frequently proved her willingness to make sacrifices for her cause – not least that she is separated from her husband and children for weeks at a time. But she accepts such sacrifices and challenges as part of the life of an activist.
“Many important decisions involving rural people’s livelihood have come from men, with women playing no part and being subjected to rules that make it hard for them to become leaders,” Tekla says. The upshot of this is that “women have been victimized by such decisions”.
She points out that women were the first victims of the arrival of logging, oil palm plantations and coal and gold mining operations, but had been excluded from the decision-making process allowing such activities.
“The main problem confronting Kalimantan women is the deep-rooted patriarchal culture in all aspects of daily life, which results in gender discrimination, injustice and oppression,” she says.
“The prevailing economic system only turns women into a commodity for exploitation.”
While studying in Samarinda, Tekla, a law graduate of the city’s Widya Gama Mahakam University, realized that women had been subject to considerable injustice; she determined to oppose such discrimination, as it was unlikely the men would do anything on this front.
In 1997, she joined an NGO in Samarinda and chose to work in the downstream villages of the Mahakam River.
She has spent much time in the years since then in a traditional motorboat, cruising along the river and its tributaries to visit nearby hamlets, where she and her peers have informal discussions with local women and girls.
“We listen to their grievances, make them aware of their rights and suggest some alternative solutions,” says Tekla.
The discussions led to the creation of 11 collective business groups, with a total of 250 women as members. Their activities include growing vegetables, raising cattle and making handicrafts.
To make the most of their ideas, in mid-1999 Tekla and several fellow activists set up an NGO called the Perkumpulan Nurani Perempuan (Women’s Conscience Association).
Before founding this organization, women activists held a discussion where they shared their personal experiences in advocacy for community members in East Kalimantan. Through this discussion that realized that in many cases of a violation of communal rights, women’s interests were harmed the most.
“Many NGOs were operating in East Kalimantan in areas such as custom-based communities, human rights, environmental affairs and labor issues,” she says. “But none was dealing specifically with women’s rights.”
Among the issues Kalimantan women facing are the educational gap between men and women, the limited opportunities for women to assume leadership, high maternal mortality, human trafficking, women’s poor access to information, women’s low representation in politics, sociocultural conditions that diminish women’s quality of life and the increasing threat to women posed by mining operations and plantations.
The NGO’s activities include organizing village women, training community organizers, village administrators and communal heads, facilitating business ventures, motivating women, and providing guidance on running a farming business.
In late 2008, it facilitated the supply and plantation of 300,000 rubber trees in 10 villages in West and East Kutai. The project aimed to increase local incomes, restore former forest concession areas and maintain communal land.
But perhaps the NGO’s greatest achievement was the creation of a local financial institute called Petemai Urip Credit Union in April 2002, of which Tekla is executive chair.
As of March this year, the credit union had assets valued at a total of Rp 20 billion. Most notably, all its seven executives, nine of its 13 employees and 2,500 of its 3,500 members are women.
“We made no requirement that they had to be women, but the union’s male members seemed to be aware that the institute was set up and developed by women,” Tekla says.
Tekla is also on the executive board of the Kalimantan Credit Union Coordinating Body (BKCUK), which coordinates 54 credit unions across the country, with total assets of Rp 3.5 trillion and 500,000 members.
To achieve synergy in the Kalimantan women’s movement, Tekla and her peers in the island’s other three provinces organized the first Kalimantan Women’s Congress with 250 participants from different ethnic groups, religions and professions.
At the congress, held in Pontianak in late February, they shared and discussed their experiences and ideas for the development of the women’s movement in Kalimantan, as the first step to strengthen and unify their struggle against gender injustice, discrimination and oppression.
They ended the congress with an eight-point declaration, setting out the need for the consolidation of the women’s movement for peace and justice; advocacy for gender justice and mutual respect among groups; the need for government policies to guarantee justice for women and prevent conflict; free public services for women’s education and reproductive health; the guarantee of community management of resources; and building of women’s capacity to evaluate development programs.
Tekla said she hoped Kalimantan women would become more critical on a wide range of issues, such as the environment, trafficking of women and child, and public administration, and get involved in regional planning and budgets.
“Women should also be politically active, in general, or engaged in practical politics so their rights will not be ignored,” she says.

Sumber berita & foto: thejakartapost.com

Read More......

Pentas Musik dan Tarian Dayak di BBJ


JAKARTA, KOMPAS.com - Selama empat hari, mulai Kamis (10/6/2010), Bentara Budaya Jakarta (BBJ), di Jalan Palmerah Selatan 17, Jakarta Pusat, menampilkan potensi seni- budaya Suku Dayak, Kalimantan Barat. Khusus Kamis, pukul 10.00 -12.00 WIB, digelar demo pembuatan madu ala Dayak. Sore harinya, pukul 17.00-21.00 WIB, ada demo pembuatan tuak. Dilanjutkan dengan pentas musik dan tarian dayak.

Ketua Pengelola BBJ, Paulina Dinartisti mengatakan, anggapan miring tentang orang Dayak akan tertepis lewat gelar budaya ini. "Wujud kegiatan yang digelar berupa pameran asesoris dan hasil kerajinan tangan, kain batik Dayak (tenun dan cetak), cerita rakyat dan permainan rakyat, serta kuliner," ujarnya, Rabu (9/6/2010) di Jakarta.

Hari Jumat (11/6/2010) digelar peluncuran tiga buku yaitu mengenai Oevang Oeray, Gubernur pertama Dayak Kalbar, buku mengenai religiusitas orang Dayak, dan buku tentang religiusitas dan eksotisme orang Dayak Kalimantan Barat.

Selain itu peragaan busana hasil karya Clara Asterina, perancang muda yang menampilkan kain etnis Dayak dalam kemasan yang modern. Ikut tampil, kata Paulina, Adrianus --salah seorang Bupati di Kalbar, beserta istri dan anaknya.

Sumber berita: kompas.com

sumber foto: mediaindonesia.com

Read More......

PAULUS BUNDE, PELESTARI SENI PAHAT DAYAK


Seperti juga di daerah lain, beragam seni tradisi suku Dayak semakin luntur. Tak banyak lagi orang yang melestarikan seni tradisi suku yang mendiami Pulau Kalimantan yang amat beragam itu.

Salah satu dari sedikit orang yang berusaha melestarikan seni tradisi Dayak adalah Paulus Bunde (45), orang asli Dayak kelahiran Kapuas Hulu, sebuah kabupaten di Kalimantan Barat bagian timur laut yang berbatasan dengan Malaysia.

”Semasa kecil ketika di kampung saya masih sesekali melihat orang-orang tua memahat kayu untuk ukiran peti mati atau lukisan-lukisan Dayak saat gawai adat. Namun, sekarang itu semakin jarang saya lihat,” ujar Bunde. Gawai adat adalah upacara tahunan masyarakat Dayak setelah masa panen.
Bunde lahir di Kampung Belimpis, Desa Belimpis, Kecamatan Balo Hulu yang terkenal dengan rumah betangnya. Belum lama ini rumah betang di Belimpis terbakar habis dalam sebuah musibah.

Memasuki masa remaja, Bunde makin jarang melihat kegiatan-kegiatan berbau seni di kampungnya. Keprihatinan atas terus lunturnya seni tradisi Dayak makin menjadi-jadi ketika dia bertugas di Samarinda, Kalimantan Timur, tahun 1992.

”Di sana saya bertemu dengan orang Jawa yang membuat ukir-ukiran, patung, dan berbagai kerajinan khas masyarakat Dayak,” kenangnya. Dia heran karena ternyata kerajinan itu sangat laris dan bahkan sudah diekspor ke sejumlah negara. ”Saya lebih heran lagi karena dia bukan orang Dayak, sementara saat itu saya tidak bisa menjumpai orang Dayak yang bisa melakukan seperti dia,” kata Bunde.

Berbekal pertemuannya dengan seorang perajin dari Jawa itu, Bunde lalu melakukan riset ke sejumlah daerah pedalaman di Kapuas Hulu. Awalnya Bunde bertemu dengan tetua adat yang masih memiliki kedekatan dengan budaya Dayak. Salah satu tetua yang ditemuinya adalah pemilik kerajinan berbentuk replika sampan perang dan sampan upacara adat.

Bunde kemudian mencoba membuat kedua replika itu. Awalnya dia agak kesulitan membuatnya lantaran memang tidak pernah belajar memahat. Maklum, Bunde adalah seorang sarjana hukum.

Suatu ketika, Bunde bertemu seorang penampung hasil kerajinan asal Malaysia yang membuka usaha di Kuching, ibu kota Negara Bagian Serawak. ”Ternyata replika sampan perang dan sampan upacara adat buatan saya banyak peminatnya di Kuching,” katanya. Penampung hasil kerajinan itu meminta Bunde memproduksi lagi secara rutin, sampai sekarang. Selain replika sampan, Bunde juga masih tetap memasok sejumlah kerajinan khas Dayak berbahan dasar kayu, seperti gitar khas Dayak, kotak tato, dan amben (tas/ransel kayu).

Bunde mengaku tidak banyak menjual hasil karyanya di Pontianak. Dia hanya menitipkan sejumlah jenis hasil kerajinannya ke sejumlah toko suvenir. Salah satunya adalah sampan dengan panjang 50 sentimeter yang dijual Rp 250.000, gitar khas Dayak sepanjang 1,5 meter (Rp 250.000), dan amben khas Dayak (Rp 500.000).

”Saya lebih banyak menjual ke Kuching karena pesanannya banyak dan rutin, hampir setiap bulan. Kalau pesanan lagi banyak, saya mendatangkan warga kampung untuk membantu mengerjakannya. Lumayan berbagai barang ukiran itu bisa terjual antara 30 ringgit dan 300 ringgit per buah,” katanya.

Unik

Kerajinan khas Dayak produksi Bunde memiliki keunikan pada cara pembuatannya. Bunde yang dibantu oleh sejumlah perajin di sebuah sentra kerajinan itu menggunakan teknik pengasapan untuk membuat kayu menjadi kering dan tak dimakan rayap.

Pengasapan itu juga membuat hasil kerajinan Bunde memiliki ciri khas, yakni berwarna hitam. Kalau masih bisa mendapat bahan baku kayu belian (ulin), tak perlu diasapi. Kayu belian memang sangat bagus karena merupakan salah satu jenis kayu yang sulit lapuk. ”Kayu yang lebih sering saya gunakan adalah kayu leban yang akan bagus kalau diasapi,” tutur Bunde.

Barang kerajinan pahat khas Dayak itu ternyata datang dari sebuah bengkel sederhana di Gang Bersatu, Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalbar. Di rumah yang sederhana itu Bunde memiliki dua tempat pembuatan barang kerajinan.

Kedua tempat pembuatan barang kerajinan itu masing-masing berukuran sekitar 2 meter x 4 meter. Langit-langit ruangan sudah penuh sarang laba-laba. Debu pun hampir memenuhi semua sisi ruangan.

Namun, dari tempat sederhana itu, Bunde mencoba menjaga idealismenya. ”Saya hanya ingin seni tradisi Dayak, salah satunya pahatan yang memiliki beragam motif ini, bisa terjaga dan tidak hilang,” katanya.

Keunikan karya Bunde sudah diakui para wisatawan yang berkunjung ke Kuching. Wisatawan yang mencari kerajinan tangan di kawasan Main Bazaar, Water Front City, Kuching, tak akan sulit mendapatkan karya Bunde. Bahkan, karya Bunde bisa dibilang menghidupi kawasan itu.

”Di kawasan yang khusus untuk penjualan kerajinan tangan itu hampir sebagian besar barangnya merupakan produksi Indonesia. Orang-orang Malaysia dan wisatawan Eropa yang datang ke Kuching sangat menghargai karya-karya orang Indonesia. Di rumah-rumah sederhana orang di Kuching, saya melihat banyak kerajinan tangan khas Indonesia yang mereka pajang,” kata Bunde.

Namun, hal itu amat berbeda dengan pemandangan di kebanyakan rumah orang-orang berpunya di Kalimantan. ”Walaupun mereka memiliki uang lebih, ternyata tak banyak hasil kreasi seni yang mereka pajang. Berarti ini bukan soal sudah sejahtera atau belum, kan?” tutur Bunde.

Lalu tak takutkah Bunde kalau suatu saat karyanya diklaim dan dipatenkan oleh orang Malaysia seperti yang belakangan sering terjadi? ”Kenapa mesti takut, itu kan karya orang Dayak. Orang-orang Malaysia sebagian juga merupakan orang Dayak. Kami hanya dipisahkan oleh kepentingan politik bernama garis batas negara,” ujarnya.

Kini Bunde hanya bisa menunggu upaya pemerintah agar kekayaan seni dari berbagai suku bisa tumbuh dan menghidupi masyarakatnya. ”Kalau karya-karya itu tidak tumbuh atau bisa menghidupi orang-orang yang menekuninya, barangkali kekayaan seni tradisi itu akan segera punah seperti yang kita prihatinkan,” katanya.

Hingga kini warga asli suku Dayak itu masih tetap hidup dengan idealisme dan kesederhanaannya. Bunde dan keluarganya tetap tinggal di ujung gang yang belum beraspal. Tak banyak orang menyangka bahwa pemilik rumah kecil itu merupakan salah satu perajin yang diperhitungkan di Kuching, Malaysia.

PAULUS BUNDE

• Lahir: Kapuas Hulu, 2 Febuari 1965
• Istri: RM Sri Widiyatmi (40)
• Anak: - Pande Prakosa (15) - Maria Aurelia (9)
• Pendidikan: - SD Benua Martinus, Kapuas Hulu - SMP Benua Martinus - SMA Pancasetia, Sintang - Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
• Penghargaan: Juara Desain Produk Inacraft 2007

sumber berita & foto: kompas.com

Read More......


Lambang Kalimantan Tengah Terdiri Dari
1. Talawang Segi Lima
2. Balanga
3. Tali
4. Bintang
5. Burung Tingang
6. Lukisan Sangen "Haramaung Batulang Bunupangadien"
7. Sumpit Dan Mandau
8. Padi Dan Kapas
tentu semuanya memiliki arti tersendiri yang sesuai dengan kepribadian ras dan kondisi Kalimantan Tengah.
Lambang Kalimantan Tengah berbentuk talawang segi lima. Di dalamnya terdapat gambar bulat telur berbentuk belanga, melambangkan senjata tradisional Kalimantan Tengah. Di dalam belanga terdapat tali yang terbuat dari sejenis akar yang dapat dipintal dan dililit melingkar menyerupai belanga. Ujungnya yang terikat bersimpul mati melambangkan kekokohan. Motto "Isen Mulang" berarti Pantang Mundur yang berasal dari Bahasa Sangen.
Bintang bermakna Ketuhanan Yang Maha Esa. Burung Tingang melambangkan kebesaran. Talawang, senjata pelindung segala marabahaya. Di dalam talawang terdapat lukisan Sangen berbunyi Harimaung Batulang Bunupangadien Batikur Talawang yang melambangkan suatu perjuangan yang pasti mendatangkan hasil. Mandau, melambangkan kejayaan suku Dayak, Sumpitan adalah perdamaian, karena alat ini tidak boleh digunakan untuk membunuh, sementara padi dan kapas melambangkan kemakmuran. Handep Hapakat Manggatang Utus Itah "Utus Dayak"

Read More......

Perang Air Atraksi Budaya "Laluhan" Dayak Kapuas


Sekelompok anak muda bersorak sorai kegirangan ketika senjata air yang mereka miliki yang diarahkan ke lawan mengenai sejumlah pemuda lainnya sehingga pemuda yang dinilai sebagai lawanya itu basah kuyub.

Kendati basah kuyup sejumlah pemuda yang terkena semprotan air itu tidak marah, sebaliknya mereka justru kegirangan dengan sorak sorai pula, seraya membalas serangan itu dengan semprotan air pula sehingga terjadilah baku serang.

Perang-perangan air tersebut terjadi di atas Sungai Kapuas, Kota Kuala Kapuas, Ibukota Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Situasi itulah yang terjadi dalam perang air (perang danum) dalam atraksi budaya "Laluhan" yaitu sebuah acara ritual Dayak Ngaju.Laluhan sebuah tradisi masyarakat Dayak yang masih dilestarikan wearga Kabupaten Kapuas,
bahkan belakangan atraksi budaya sekaligus ritual itu selalu meramaikan acara puncak peringatan hari jadi Kota Kuala Kapuas, seperti yang terjadi Rabu (21/3) lalu.

Menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Kapuas, H.Nurul Edy, atraksi budaya tersebut akan selalu digelar berkenaan peringatan hari jadi Kabupaten, maksudnya tiada lain sebagai hiburan masyarakat sekaligus sebagai sarana pelestarian kebudayaan dan kepercayaan warga setempat.

Maksud lain, adalah untuk menjadikan acara adat itu sebagai atraksi wisata tahunan untuk menjadi "magnet" bagi kunjungan wisatawan ke wilayah berjuluk "kota air" tersebut.

"Kita akan terus promosikan atraksi budaya dan atraksi wisata Lauhan ke berbagai penjuru tanah air, baik melalui pemberitaan mas media, maupun bentuk promosi yang lain, dan berharap atraksi ini menjadi daya pikat kuat terutama bagi wisatawan mancanegara," katanya kepada sejumlah wartawan.

Menurutnya, dalam atraksi kali ini bukan saja dihadiri berbagai wisatawan lokal Kalteng dan wisatawan provinsi tetangga Kalsel dan Kaltim , tetapi juga terdapat sejumlah turis asing seperti dari Perancis, Thailand, maupun dari Australia.

"Kita berharap promosi atraksi wisata ini bisa melalui dari mulut ke mulut wisatawan asing tersebut," kata Nurul Edy.

Berdasarkan berbagai keterangan disebutkan, Bagi warga Dayak Ngaju, tradisi laluhan berkaitan acara adat yang disebut tiwah, semacam upacara pengangkatan tulang belulang seseorang yang sudah meninggal dan dikubur, kemudian dipindahkan ke suatu bangunan kecil yang disebut sandung.

Upacara ini terkait dengan kepercayaan nenek moyang suku Dayak setempat "Kaharingan." guna memindahkan tulang belulang tersebutlah maka dilakukan acara Laluhan.

Laluhan adalah pengantaran barang-barang pemberian dari warga desa yang satu kepada warga desa yang lain yang lagi menggelar upacara ritual tiwah, pemberian sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotong-royongan.

Dalam upaya ini biasanya dipimpin tokoh adat tokoh agama dengan cara menfaatkan sarana air berupa, klotok, tongkang, sampan, rakit, atau perahu yang penuh dengan berbagai hiasan berornamen budaya Dayak setempat.

Barang-barang sumbangan tersebut dibuat ke dalam angkutan air itu, kemudian di dalam angkutan air seperti perahu terdapat sejumlah orang yang memainkan alat musik tradisional setempat seperti gong, kenong, babun, seruling, biola dan sebagainya seraya bernyanyi dengan lagu khas setempat.

Maksudnya, upacara Laluhan adalah untuk membantu meringankan beban bagi kampung lain yang sedang menyelenggaraan upacara ritual tiwah, karena dalam upacara ritual ini menelan biaya yang cukup besar.

Selain sebagai bagian ritual upacara adat tiwah, acara laluhan

kini sudah dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi atraksi budaya lainnya seperti di antaranya menampilkan pesta perang adat, perang air, saling melempar batang tanaman suli sebagai simbol pengganti senjata tombak.

Kegiatan perang-perangan ini sebagai simbol, begitu gigihnya warga Dayak dalam mempertahankan wilayahnya dari gangguan musuh, atau sebagai simbol begitu gigihnya warga setempat memerangi kemiskinan dan keterbelakangan agar menjadi sebuah masyarakat yang maju dalam upaya memajukan pembangunan khususnya Kabupaten kapuas dan secara umum Provinsi Kalteng.

Sumber: Kompas

Read More......

Marko Mahin, Menyelami Kaharingan


Banyak orang beranggapan bahwa Kaharingan bukanlah agama, melainkan hanya adat, kebudayaan, atau aliran kepercayaan milik masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Anggapan seperti itu muncul karena negara hanya mengakui enam agama resmi.

Para penganut Kaharingan sempat mendapat label sebagai orang yang tak beragama. Kaharingan dinilai hanya agama orang pedalaman atau penghuni hutan tropis. Agama masa lampau dan diramalkan bakal punah seperti kayu lapuk.

”Itu tidak benar,” kata Marko Mahin, antropolog, penerima beasiswa Ausbildungschilfe, Jerman, 1992-1997. Dia juga menjadi mahasiswa lulusan terbaik dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta dengan predikat cum laude.


Sejak 30 Januari lalu,
Marko menyandang gelar doktor antropologi setelah lulus dengan predikat cum laude dari Program Pascasarjana Antropologi, Universitas Indonesia. Disertasinya yang berjudul Kaharingan, Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng) dia pertahankan tanggal 29 Desember 2009.
Gelar intelektual ini istimewa karena diraih oleh putra Dayak Ngaju. Marko lahir di Sei Kayu, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kaharingan adalah agama Dayak Ngaju sejak ribuan tahun lalu.

”Saya lelah dengan penggambaran sewenang-wenang tentang Kaharingan. Mereka dilabel dan distigma sebagai kafir, penganut agama kegelapan, atau agama para pengayau,” kata penerima beasiswa dari Netherlands Education Center (NEC) Indonesia untuk program S-2 di Universitas Leiden, Belanda, dan beasiswa dari Global Ministry International, Amerika Serikat, (2006-2009) ini.

Marko meyakini, pasti ada penjelasan ilmiah yang lebih manusiawi dan tidak diskriminatif. Untuk membuktikannya, antropolog, teolog, dan pendeta yang bertugas sebagai pengajar agama dan kebudayaan di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE), Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini membaur dengan para penganut Kaharingan selama setahun untuk mengkaji Kaharingan dan penulisan disertasi.

”Kaharingan itu agama para leluhur Dayak. Saya terpanggil meneliti sekaligus menyelami keluhurannya,” ujar Marko yang juga memperoleh Visiting Research Fellowship, Asia Research Institute (ARI) of the National University of Singapore, pada Mei-Juni 2008.

Itu sebabnya dia terlibat langsung pada berbagai upacara yang digelar pengikut Kaharingan, seperti upacara Tiwah (ritual kematian tahap akhir), dan upacara Basarah (ibadah rutin Kaharingan setiap Kamis atau malam Jumat).

Kaharingan itu adalah agama yang dilahirkan masyarakat Dayak di Kalimantan, bukan impor dari luar. Secara sosial dan historis, agama ini berbeda dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Kaharingan awalnya tak bisa mengikuti ukuran beragama seperti keenam agama itu, yang antara lain punya hari besar, rumah peribadatan, dan organisasi keagamaan. Tak mengherankan jika ada yang meramalkan, agama Dayak ini akan punah seperti kayu lapuk.

Pendapat itu, ungkap Marko, kontras dengan faktanya. Kaharingan mempunyai sistem adaptif yang baik terhadap perubahan sosial dan modernisasi. Kepercayaan ini pertama kali diperkenalkan Tjilik Riwut tahun 1944, saat menjabat Residen Sampit dan berkedudukan di Banjarmasin.

Mitos suci

Kata ’kaharingan’ semula hanya dipakai pada upacara ritual keagamaan Dayak Ngaju, dalam basa sangiang, bahasa ritual para balian (imam) saat menuturkan mitos-mitos suci. Kata ’kaharingan’ berarti hidup atau kehidupan. Tahun 1945, Kaharingan diajukan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Banjarmasin sebagai penyebutan bagi agama Dayak.

Tahun 1950, dalam Kongres Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia, Kaharingan resmi dipakai sebagai generik untuk agama Dayak. Tahun 1980, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.

”Hindu dipilih bukan karena ada kesamaan dalam ritualnya, melainkan sebagai agama tertua di Kalimantan,” katanya.

Dalam perkembangannya, mereka punya tempat untuk beribadah kepada Sang Pencipta Ranying Hattalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa), yakni Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Tahun 2006 di Kalteng terdata 212 Balai Basarah.

Mereka juga punya kitab suci, Panaturan, dan buku agama lain, seperti Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan, dan Buku Penyumpahan/Pengukuhan (untuk acara pengambilan sumpah/pengukuhan jabatan).

Mereka juga merayakan hari keagamaan, mendirikan organisasi keagamaan untuk pembinaan umat mulai dari desa hingga provinsi, mendidik guru agama, dan mencetak buku agama mulai dari SD hingga perguruan tinggi, mengadakan Festival Tandak, seperti Musabaqah Tilawatil Quran dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi), serta membangun kompleks pemakaman dan Sandung.

Sejak tahun 1980 mereka dimasukkan sebagai penganut Hindu. Badan Pusat Statistik Kalteng tahun 2007 mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan. Perkembangan agama ini di Kalteng meluas ke suku Dayak lain, seperti Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang. Meskipun sistem kepercayaannya berbeda dengan Dayak Ngaju, agama yang mereka anut juga disebut Kaharingan.

Dayak Meratus di Kalsel, Dayak Tunjung dan Benuaq di Kaltim juga menyebut agama mereka Kaharingan. Di Kalbar ada Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai, yang menggelar upacara Tiwah.

”Para penganut Kaharingan sangat rasional dalam menjalankan keluhuran agamanya, sama seperti agama lain,” kata anak keempat dari 7 bersaudara ini.

Marko meraih gelar doktor berkat dorongan ayahnya, Ruthman Luther Mahin, petani di Desa Sei Kayu, yang berjuang menyekolahkan tujuh anaknya. Sejak SD mereka bersekolah di Palangkaraya.

MARKO MAHIN

• Lahir: Sei Kayu, Kabupaten Kapuas, Kalteng, 26 Maret 1969

• Istri: Widya Hastuti • Anak: Angela (Lala), Evita

• Pendidikan:

- SD Negeri Pahandut 1 Palangkaraya, lulus 1982
- SMP Negeri 1 Palangkaraya, 1985
- SMA Negeri 1 Palangkaraya, 1988
- S-1 Teologi, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1997
- S-2 Antropologi, Universitas Leiden, Belanda, 2003
- S-3 Antropologi, Universitas Indonesia, 2009

• Pekerjaan, antara lain:

• Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE), Banjarmasin, Kalsel, 2000-kini
- Pengajar tak tetap di beberapa perguruan tinggi, 2007-kini
- Peneliti dan konsultan independen, 2005-kini

• Aktivitas sosial dan organisasi, antara lain:
- Kepala Pusat Studi Agama dan Masyarakat STT-GKE, 2003-2006
- Koordinator Forum Dialog Kalsel, 2002-2006
- Direktur Eksekutif Lembaga Studi Dayak-21, 2004-2006

• Karya buku, antara lain:
- Hausmann Baboe: Tokoh Pergerakan Rakyat Dayak, yang Terlupakan, Jakarta: Keluarga Besar Hausmann Baboe, 2006
- Perempuan-perempuan Penganyam Kehidupan: Dinamika Kehidupan Para Pengrajin Tikar Rotan di Kalteng, Banjarmasin, 2006
- 70 Tahun GKE: Pergumulan dan Upaya GKE Menuju Kemandirian (Editor bersama Rama Tulus), Banjarmasin, 2005
- Tamanggong Ambo Nikodemos Djaja Negara: Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak, Lembaga Studi Dayak 21, 2005

• Akan terbit, antara lain:
- Manajah Antang: Upacara Memanggil Elang Gaib Pembawa Petunjuk Orang Dayak Ngaju
- Kaharingan: Dinamika Politik Agama Dayak di Kalteng

sumber: Kompas

Read More......

MANUHIR (Pengobatan Alternatif dari Dayak Ngaju)


Zelda Ewanggelion (4) menangis tak henti-hentinya ketika Dandel D. Pangkut (66) mengeluarkan darah dari ibu jarinya dengan menggunakan jarum kecil. Sebelumnya Dandel membacakan doa-doa kemudian menutup jalan darah yang keluar tadi dengan serpihan emas dan perak yang sudah disediakan Leani ibu dari Zelda. Setelah itu Dandel melanjutkan tampung tawar Zelda dengan menggunakan beras yang sudah dicelupkan ke dalam sebutir telur ayam kampung yang sudah dipecahkan terlebih dahulu.
Pengobatan alternatif yang dilakukan oleh Dandel ini sering disebut Manuhir oleh orang Dayak Ngaju. Bermula dari anak muda, sebut saja Tampung yang dapat “melihat” tanda darah “kotor” dari Zelda ketika bermain di depan rumah. Tampung menyampaikan kepada orang tua Zelda, darah itu harus dikeluarkan dengan cara Manuhir, kalau tidak dilakukan ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, misalnya mati berdarah (baca kecelakaan), mati diterkam buaya atau mati tenggelam.
Manuhir adalah mengeluarkan darah kotor dari tubuh seseorang yang selalu mengancam kesehatan tubuh dan jiwa dari seseorang. Berasal dari kata “Tuhir” yang berarti mengiris, menyayat atau melukai. Tempat manuhir itu ada dibeberapa tempat, tergantung dari tempat darah kotor itu berada. Namun Dandel D. Pangkut (66) mengatakan bahwa ia mengambil filosofi dari kedua ujung jempol tangan untuk mengeluarkan darah. “Seperti anak bayi yang ada dalam kandungan ibunya dan mengisap jempol tangan itulah alasan saya menggunakan cara demikian, kehidupan manusia ada dipengaruhi oleh faktor luar, yaitu “roh jahat” yang bekerja dalam darah. Roh jahat ini memberikan tanda pada seseorang yang berciri pada tubuh orang tersebut. Penguasa luar (baca roh jahat) melihat tanda yang ada di dalam darah tubuh orang tersebut”, terang Dandel.
Manuhir diperlukan untuk mengeluarkan darah dari tubuh orang yang mau di obati, sehingga gangguan dan ancaman keluar dari tubuh orang tersebut. Kuasa Tuhan Yang Maha Esa digunakan untuk mengeluarkan darah tersebut dengan doa-doa khusus yang diucapkan pada seseorang yang mengobati tersebut. Firasat ini bisa dimulai dari bayi atau pada saat dewasa dapat muncul. Hal ini dapat muncul karena “pahuni”, sehingga ciri ini dimunculkan. “Kita harus bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk mengetahui ciri ini, sehingga apabila ada orang yang dapat melihat ciri ini harus menyampaikannya kepada orang yang bersangkutan. Apabila ini tidak disampaikan maka bencana akan menimpa orang tersebut yang dapat melihat ciri namun tidak menyampaikannya”, jelas Dandel.
Akibat yang sering terjadi kalau darah tidak dikeluarkan, akan mengakibatkan mati berdarah, mati di makan buaya, mati tenggelam. Namun jaman sekarang karena jauh dari sungai sehingga wujud buaya berganti pada motor dan mobil, kebanyakan firasat yang ada sekarang adalah mati berdarah tutur pria yang sudah beruban ini.
Syarat-syarat yang harus dilengkapi yaitu, sebutir telur ayam kampung, sebuah jarum kecil, serpihan emas, serpihan perak, dan sejumlah uang digulung dan diletakkan di atas beras pada mangkok putih. Emas dan perak ini digunakan untuk menutup jalan keluar dari darah yang sudah dikeluarkan dari tubuh orang tersebut. Jarum digunakan untuk mengeluarkan darah dari ujung ibu jari dari orang yang diobati.
Sumber Dandel D.Pangkut (66) tahun.

Read More......