Anthony Nyahu: Lebih Baik Juling Daripada Buta


Keleh Mata Babilas Bara Babute. Lebih baik mata juling daripada buta. Demikian satu pepatah dalam Bahasa Dayak Ngaju yang ingin menyampaikan pesan, kurang lebih, lebih baik seadanya daripada tidak ada. Itulah analogi yang hendak disampaikan Anthony Nyahu (35), seorang linguis yang bekerja di Balai Bahasa Palangka Raya, tentang soal menuturkan Bahasa Dayak Ngaju di kalangan masyarakat Kalteng masa kini.

Tony, panggilan akrabnya, seorang putra Dayak dari Katingan yang terpanggil mengangkat nasib Bahasa Ngaju, lingua franca, bahasa pergaulan di antara sesama penduduk Kalteng ini. Nasib yang tak berpihak, karena baginya ada kesan bahwa bahasa ini sengaja atau tidak, sudah sedikit sekali dituturkan dalam percakapan keseharian masyarakat. Ia tak mau itu terjadi seterusnya, hingga bahasa ibunya tersebut pelan tapi pasti ditelan kepunahan, tidak eksis lagi.

Apakah hal ini merupakan produk sadar masyarakat yang lebih mengutamakan Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa sub-etnik lainnya? Tony berpendapat, masalah resistensi bahasa itu pilihan dari para penuturnya sendiri, kita mau atau tidak untuk merawat dan mempertahankannya. Hal itu tidak dapat dipaksakan kepada masyarakat non-Dayak, yang hadir di Kalteng, untuk turut menuturkannya, jika orang-orang Dayak sendiri tidak mau membudayakannya.

Jadi pemikiran Tony ialah orang-orang Dayak harus mau, secara positif, menjadikan Bahasa Ngaju itu sebagai bahasa tutur yang utama di rumah-rumah dan dalam pergaulannya, mendampingi Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa standar dalam dunia pendidikan dan pemerintahan di Kalteng. Jika tidak begitu, ia khawatir maka setelah satu generasi lagi, maka pasti Bahasa Ngaju itu punah.

Berbagai upaya sedang dikerjakan Tony guna mewujudkan misinya tersebut. Di antaranya, ia sedang mempersiapkan sebuah buku ajar bahasa daerah, sebagai muatan lokal, yang dipakai di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Walaupun diakuinya, sedikit sekali dukungan yang diperolehnya dari pemda yang mengurus hal itu. Memang perjuangan ini mendapat tentangan justru dari kelompok yang sebenarnya harus mempertahankan bahasa Ngaju itu sebagai miliknya.

Tony tetap berkarya. Beberapa artikel ditulisnya di berbagai media massa lokal guna menyampaikan pesannya agar Bahasa Ngaju itu dihargai dan diberikan tempat seharusnya. Ia juga aktif menggalang dukungan dari berbagai pihak, budayawan dan sejarawan, seperti dari JJ Kusni Sulang dan Nila Riwut, untuk mempersiapkan infrastruktur bahasa Ngaju mudah dipelajari dan dituturkan oleh generasi muda Dayak. Tony berupaya agar sintaksis dan tata bahasa tidak menjadi hambatan orang sulit mempelajari dan berbahasa Ngaju.

Sama seperti Gubernur Agustin Teras Narang sudah mempersiapkan infrastruktur jalan dan jembatan agar bisa mempermudah urusan dalam pembangunan Kalteng yang sejahtera dan bermartabat, maka Buku Kamus Bahasa Dayak Ngaju harus diterbitkan terlebih dulu untuk orang-orang mudah berbahasa Ngaju.

Setelah itu, barulah bisa bicara tentang penyempurnaan tata bahasa. Oleh karena itu, Tony menurunkan tiga prinsip agar Bahasa Ngaju itu lestari beberapa ratus tahun lagi. Harus ada kemauan menuturkan (maku bebasa), setia menggunakannya (patuh bebasa) dan pada akhirnya menuruti pakem (numun aturan) akan menyusul dengan sendirinya.

Biodata
Nama : Anthony Nyahu
Lahir : Katingan, 7 Agustus 1975
Profesi : Linguis di Balai Bahasa & Peminat Sastra Dayak
Pendidikan : Sarjana Bahasa Inggris Universitas Palangka Raya (1999)
Sumber berita/ foto: hariantabengan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar