Perang Air Atraksi Budaya "Laluhan" Dayak Kapuas


Sekelompok anak muda bersorak sorai kegirangan ketika senjata air yang mereka miliki yang diarahkan ke lawan mengenai sejumlah pemuda lainnya sehingga pemuda yang dinilai sebagai lawanya itu basah kuyub.

Kendati basah kuyup sejumlah pemuda yang terkena semprotan air itu tidak marah, sebaliknya mereka justru kegirangan dengan sorak sorai pula, seraya membalas serangan itu dengan semprotan air pula sehingga terjadilah baku serang.

Perang-perangan air tersebut terjadi di atas Sungai Kapuas, Kota Kuala Kapuas, Ibukota Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Situasi itulah yang terjadi dalam perang air (perang danum) dalam atraksi budaya "Laluhan" yaitu sebuah acara ritual Dayak Ngaju.Laluhan sebuah tradisi masyarakat Dayak yang masih dilestarikan wearga Kabupaten Kapuas,
bahkan belakangan atraksi budaya sekaligus ritual itu selalu meramaikan acara puncak peringatan hari jadi Kota Kuala Kapuas, seperti yang terjadi Rabu (21/3) lalu.

Menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Kapuas, H.Nurul Edy, atraksi budaya tersebut akan selalu digelar berkenaan peringatan hari jadi Kabupaten, maksudnya tiada lain sebagai hiburan masyarakat sekaligus sebagai sarana pelestarian kebudayaan dan kepercayaan warga setempat.

Maksud lain, adalah untuk menjadikan acara adat itu sebagai atraksi wisata tahunan untuk menjadi "magnet" bagi kunjungan wisatawan ke wilayah berjuluk "kota air" tersebut.

"Kita akan terus promosikan atraksi budaya dan atraksi wisata Lauhan ke berbagai penjuru tanah air, baik melalui pemberitaan mas media, maupun bentuk promosi yang lain, dan berharap atraksi ini menjadi daya pikat kuat terutama bagi wisatawan mancanegara," katanya kepada sejumlah wartawan.

Menurutnya, dalam atraksi kali ini bukan saja dihadiri berbagai wisatawan lokal Kalteng dan wisatawan provinsi tetangga Kalsel dan Kaltim , tetapi juga terdapat sejumlah turis asing seperti dari Perancis, Thailand, maupun dari Australia.

"Kita berharap promosi atraksi wisata ini bisa melalui dari mulut ke mulut wisatawan asing tersebut," kata Nurul Edy.

Berdasarkan berbagai keterangan disebutkan, Bagi warga Dayak Ngaju, tradisi laluhan berkaitan acara adat yang disebut tiwah, semacam upacara pengangkatan tulang belulang seseorang yang sudah meninggal dan dikubur, kemudian dipindahkan ke suatu bangunan kecil yang disebut sandung.

Upacara ini terkait dengan kepercayaan nenek moyang suku Dayak setempat "Kaharingan." guna memindahkan tulang belulang tersebutlah maka dilakukan acara Laluhan.

Laluhan adalah pengantaran barang-barang pemberian dari warga desa yang satu kepada warga desa yang lain yang lagi menggelar upacara ritual tiwah, pemberian sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotong-royongan.

Dalam upaya ini biasanya dipimpin tokoh adat tokoh agama dengan cara menfaatkan sarana air berupa, klotok, tongkang, sampan, rakit, atau perahu yang penuh dengan berbagai hiasan berornamen budaya Dayak setempat.

Barang-barang sumbangan tersebut dibuat ke dalam angkutan air itu, kemudian di dalam angkutan air seperti perahu terdapat sejumlah orang yang memainkan alat musik tradisional setempat seperti gong, kenong, babun, seruling, biola dan sebagainya seraya bernyanyi dengan lagu khas setempat.

Maksudnya, upacara Laluhan adalah untuk membantu meringankan beban bagi kampung lain yang sedang menyelenggaraan upacara ritual tiwah, karena dalam upacara ritual ini menelan biaya yang cukup besar.

Selain sebagai bagian ritual upacara adat tiwah, acara laluhan

kini sudah dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi atraksi budaya lainnya seperti di antaranya menampilkan pesta perang adat, perang air, saling melempar batang tanaman suli sebagai simbol pengganti senjata tombak.

Kegiatan perang-perangan ini sebagai simbol, begitu gigihnya warga Dayak dalam mempertahankan wilayahnya dari gangguan musuh, atau sebagai simbol begitu gigihnya warga setempat memerangi kemiskinan dan keterbelakangan agar menjadi sebuah masyarakat yang maju dalam upaya memajukan pembangunan khususnya Kabupaten kapuas dan secara umum Provinsi Kalteng.

Sumber: Kompas

Read More......

Marko Mahin, Menyelami Kaharingan


Banyak orang beranggapan bahwa Kaharingan bukanlah agama, melainkan hanya adat, kebudayaan, atau aliran kepercayaan milik masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Anggapan seperti itu muncul karena negara hanya mengakui enam agama resmi.

Para penganut Kaharingan sempat mendapat label sebagai orang yang tak beragama. Kaharingan dinilai hanya agama orang pedalaman atau penghuni hutan tropis. Agama masa lampau dan diramalkan bakal punah seperti kayu lapuk.

”Itu tidak benar,” kata Marko Mahin, antropolog, penerima beasiswa Ausbildungschilfe, Jerman, 1992-1997. Dia juga menjadi mahasiswa lulusan terbaik dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta dengan predikat cum laude.


Sejak 30 Januari lalu,
Marko menyandang gelar doktor antropologi setelah lulus dengan predikat cum laude dari Program Pascasarjana Antropologi, Universitas Indonesia. Disertasinya yang berjudul Kaharingan, Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng) dia pertahankan tanggal 29 Desember 2009.
Gelar intelektual ini istimewa karena diraih oleh putra Dayak Ngaju. Marko lahir di Sei Kayu, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kaharingan adalah agama Dayak Ngaju sejak ribuan tahun lalu.

”Saya lelah dengan penggambaran sewenang-wenang tentang Kaharingan. Mereka dilabel dan distigma sebagai kafir, penganut agama kegelapan, atau agama para pengayau,” kata penerima beasiswa dari Netherlands Education Center (NEC) Indonesia untuk program S-2 di Universitas Leiden, Belanda, dan beasiswa dari Global Ministry International, Amerika Serikat, (2006-2009) ini.

Marko meyakini, pasti ada penjelasan ilmiah yang lebih manusiawi dan tidak diskriminatif. Untuk membuktikannya, antropolog, teolog, dan pendeta yang bertugas sebagai pengajar agama dan kebudayaan di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE), Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini membaur dengan para penganut Kaharingan selama setahun untuk mengkaji Kaharingan dan penulisan disertasi.

”Kaharingan itu agama para leluhur Dayak. Saya terpanggil meneliti sekaligus menyelami keluhurannya,” ujar Marko yang juga memperoleh Visiting Research Fellowship, Asia Research Institute (ARI) of the National University of Singapore, pada Mei-Juni 2008.

Itu sebabnya dia terlibat langsung pada berbagai upacara yang digelar pengikut Kaharingan, seperti upacara Tiwah (ritual kematian tahap akhir), dan upacara Basarah (ibadah rutin Kaharingan setiap Kamis atau malam Jumat).

Kaharingan itu adalah agama yang dilahirkan masyarakat Dayak di Kalimantan, bukan impor dari luar. Secara sosial dan historis, agama ini berbeda dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Kaharingan awalnya tak bisa mengikuti ukuran beragama seperti keenam agama itu, yang antara lain punya hari besar, rumah peribadatan, dan organisasi keagamaan. Tak mengherankan jika ada yang meramalkan, agama Dayak ini akan punah seperti kayu lapuk.

Pendapat itu, ungkap Marko, kontras dengan faktanya. Kaharingan mempunyai sistem adaptif yang baik terhadap perubahan sosial dan modernisasi. Kepercayaan ini pertama kali diperkenalkan Tjilik Riwut tahun 1944, saat menjabat Residen Sampit dan berkedudukan di Banjarmasin.

Mitos suci

Kata ’kaharingan’ semula hanya dipakai pada upacara ritual keagamaan Dayak Ngaju, dalam basa sangiang, bahasa ritual para balian (imam) saat menuturkan mitos-mitos suci. Kata ’kaharingan’ berarti hidup atau kehidupan. Tahun 1945, Kaharingan diajukan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Banjarmasin sebagai penyebutan bagi agama Dayak.

Tahun 1950, dalam Kongres Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia, Kaharingan resmi dipakai sebagai generik untuk agama Dayak. Tahun 1980, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.

”Hindu dipilih bukan karena ada kesamaan dalam ritualnya, melainkan sebagai agama tertua di Kalimantan,” katanya.

Dalam perkembangannya, mereka punya tempat untuk beribadah kepada Sang Pencipta Ranying Hattalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa), yakni Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Tahun 2006 di Kalteng terdata 212 Balai Basarah.

Mereka juga punya kitab suci, Panaturan, dan buku agama lain, seperti Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan, dan Buku Penyumpahan/Pengukuhan (untuk acara pengambilan sumpah/pengukuhan jabatan).

Mereka juga merayakan hari keagamaan, mendirikan organisasi keagamaan untuk pembinaan umat mulai dari desa hingga provinsi, mendidik guru agama, dan mencetak buku agama mulai dari SD hingga perguruan tinggi, mengadakan Festival Tandak, seperti Musabaqah Tilawatil Quran dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi), serta membangun kompleks pemakaman dan Sandung.

Sejak tahun 1980 mereka dimasukkan sebagai penganut Hindu. Badan Pusat Statistik Kalteng tahun 2007 mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan. Perkembangan agama ini di Kalteng meluas ke suku Dayak lain, seperti Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang. Meskipun sistem kepercayaannya berbeda dengan Dayak Ngaju, agama yang mereka anut juga disebut Kaharingan.

Dayak Meratus di Kalsel, Dayak Tunjung dan Benuaq di Kaltim juga menyebut agama mereka Kaharingan. Di Kalbar ada Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai, yang menggelar upacara Tiwah.

”Para penganut Kaharingan sangat rasional dalam menjalankan keluhuran agamanya, sama seperti agama lain,” kata anak keempat dari 7 bersaudara ini.

Marko meraih gelar doktor berkat dorongan ayahnya, Ruthman Luther Mahin, petani di Desa Sei Kayu, yang berjuang menyekolahkan tujuh anaknya. Sejak SD mereka bersekolah di Palangkaraya.

MARKO MAHIN

• Lahir: Sei Kayu, Kabupaten Kapuas, Kalteng, 26 Maret 1969

• Istri: Widya Hastuti • Anak: Angela (Lala), Evita

• Pendidikan:

- SD Negeri Pahandut 1 Palangkaraya, lulus 1982
- SMP Negeri 1 Palangkaraya, 1985
- SMA Negeri 1 Palangkaraya, 1988
- S-1 Teologi, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1997
- S-2 Antropologi, Universitas Leiden, Belanda, 2003
- S-3 Antropologi, Universitas Indonesia, 2009

• Pekerjaan, antara lain:

• Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE), Banjarmasin, Kalsel, 2000-kini
- Pengajar tak tetap di beberapa perguruan tinggi, 2007-kini
- Peneliti dan konsultan independen, 2005-kini

• Aktivitas sosial dan organisasi, antara lain:
- Kepala Pusat Studi Agama dan Masyarakat STT-GKE, 2003-2006
- Koordinator Forum Dialog Kalsel, 2002-2006
- Direktur Eksekutif Lembaga Studi Dayak-21, 2004-2006

• Karya buku, antara lain:
- Hausmann Baboe: Tokoh Pergerakan Rakyat Dayak, yang Terlupakan, Jakarta: Keluarga Besar Hausmann Baboe, 2006
- Perempuan-perempuan Penganyam Kehidupan: Dinamika Kehidupan Para Pengrajin Tikar Rotan di Kalteng, Banjarmasin, 2006
- 70 Tahun GKE: Pergumulan dan Upaya GKE Menuju Kemandirian (Editor bersama Rama Tulus), Banjarmasin, 2005
- Tamanggong Ambo Nikodemos Djaja Negara: Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak, Lembaga Studi Dayak 21, 2005

• Akan terbit, antara lain:
- Manajah Antang: Upacara Memanggil Elang Gaib Pembawa Petunjuk Orang Dayak Ngaju
- Kaharingan: Dinamika Politik Agama Dayak di Kalteng

sumber: Kompas

Read More......