KAHARINGAN BUDAYA ATAU AGAMA ?


Pertanyaan di atas mengusik batin saya dan mengajak saya untuk mencari jawabannya. Mengutip dari buku Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran Sebuah Studi Tentang Kehadiran Kristen di Dunia Kaharingan di Kalimantan yang ditulis oleh Hermogenes Ugang ’’Kaharingan’’ berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan hidup dari diri sendiri, tanpa diadakan atau diolah oleh pihak lain melainkan yang ada tersedia dari diri sendiri, jadi Kaharingan itu sudah ada dengan sendirinya.

Apa hubungan antara Kaharingan dan Hindu Kaharingan?, cukup panjang perjuangan yang harus dihadapi hingga Kaharingan (baca Hindu Kaharingan) akhirnya diakui sebagai agama. Sebelum tahun 1980 Kaharingan tidak termasuk dalam agama dan hanya menjadi kebudayaan. Mengutip tulisan Rangkap I Nau dengan mengatakan badan jasmani kita adalah warga negara Republik Indonesia, tetapi rohani kita belum menjadi warga negara RI. Kondisi ini mengakibatkan adanya diskriminasi pada agama Kaharingan. ”Pada tahun 1970 Kartu Tanda Penduduk (KTP) saya dikosongkon oleh pemerintah karena saya menganut Kaharingan ” jelas Sapiah yang KR temui di rumahnya di komplek balai agama hindu Kaharingan jalan Tambun Bungai Palangka Raya. Keadaan lebih diperparah pada tahun 1979, saat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dipimpin oleh Jenderal Amir Machmud, mengeluarkan kebijakan dalam mengisi KTP, yang menyatakan bahwa untuk kolom agama bagi yang bukan beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha di buat tanda strip (-) dan akibatnya beberapa penganut agama Kaharingan melakukan tuntutan ke pemerintah pusat agar diakui sebagai salah satu agama resmi yang tergabung pada salah satu dari sekte agama Hindu. Perjuangan cukup panjang ini akhirnya membuahkan hasil pada tanggal 19 April 1980 Lewis KDR dan kawan-kawan dipercayakan untuk mengurus dan mengelola Majelis Besar Hindu Kaharingan sebagai badan keagamaan.

Proses integrasi dimulai dengan melihat kesamaan-kesamaan dari agama Kaharingan dan agama Hindu, salah satunya adalah upacara bakar mayat (ngaben). ”Orang tua saya pada tahun 1978 mayatnya dibakar dan abunya di simpan di di dalam balanai (guci)”, jelas Bahui yang ikut berdiskusi bersama KR saat mengunjungi Sapiah. Selain persamaan-persamaan dengan agama Hindu tentu saja ada ciri khas tertentu dari Kaharingan, tambah pria yang dipercaya sebagai lurah sekaligus pengurus dari agama Hindu Kaharingan di Tumbang Tabirah kabupaten Gunung Mas. Integrasi ini membutuhkan tenaga akademik untuk mengajar ilmu dan pengajaran tentang agama Hindu Kaharingan. ”Dalam penamaan secara nasional Kaharingan tidak muncul, labelnya atau namanya hanya Hindu saja, sama seperti Sekolah Tinggi Kristen lainnya yang muncul hanya Kristen tidak Kristen Protestan, Kristen Katolik atau apapun” jelas Drs. Midday, MM yang saat ini menjabat ketua di Sekolah Tinggi Agama Hindu Tampung Penyang (STAH-TP) Palangka Raya.

Disamping kurikulum nasional kebijakan di STAH-TP membuat kurikulum lokal dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat di wilayah Kalimantan. “ Ada tujuh mata kuliah yang termasuk kurikulum lokal, mengajarkan tentang Hindu Kaharingan yaitu: 1. Bahasa sangiang, 2. Teologi Hindu Kaharingan, 3. Tandak, 4. Bahasa daerah (Dayak Ngaju), 5. Tawur, 6. Acara agama Hindu Kaharingan dan 7. Panaturan (kitab suci)” jelas pria berkacamata ini.

Ditemui di lingkungan kantornya seluas 9 hektar di jalan G. Obos Palangka Raya, Midday menjelaskan kepada KR, secara filosofis antara Kaharingan dan Hindu Kaharingan itu sama, Hindu adalah nama agama yang diakui oleh secara nasional dan Kaharingan adalah penganut agama Hindu yang khas di pulau Kalimantan. Agama Hindu Kaharingan menganut konsep desa kala patra, yang artinya desa itu menyesuaikan dengan tempat, kala itu menyesuaikan dengan waktu dan patra itu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, jadi terus berkembang, jelas pria yang suka mengenakan gelang khas Dayak. Kelemahan dari agama Hindu Kaharingan ini salah satunya belum banyak yang dokumen-dokumen tertulis dan ini merupakan tanggung jawab dari civitas akademika kampus STAHN-TP ini untuk mengadakan penelitian-penelitan lanjutan dan membukukannya, tambah Midday.

Agama Kaharingan menyebut Tuhan dengan nama ’’Ranying Mahatalla Langit, Kanarohan Tambing Kabantaran Bulan, Rajan Tuntong Matanandau.’’, mengutip tulisan dari Hermogenes Ugang, nama julukan ini terkandung suatu paham bahwa Ilah tertinggi Kaharingan bukanlah matahari atau bulan melainkan sesuatu yang disinarkan dari dan oleh matahari dan yang sinarnya itu sampai ke bulan, yaitu api.
Harapan ke depan semoga Kaharingan (baca Hindu Kaharingan) semakin eksis dalam ajaran dan penerapannya bagi masyarakat Dayak!. (tulisan ini juga dimuat di Majalah Kalimantan Review) by. Ocis

Read More......

LEGENDA MIHING

Mihing
(Rakit “Magis” dari Sungai Kahayan)
Konon jaman dahulu cerita ini dikenal suatu tempat di Rangan Mihing Sungai Kahayan Kalimantan Tengah hidup seorang bernama Bowak, seorang pekerja yang tekun dan pandai memelihara babi. Setiap hari mencari keladi dan memasak untuk makanan babi peliharaannya.
Suatu ketika Bowak bersenandung (menyangen atau mangarungut) di antara syair terlantun “Narai kajaria kea gawi kalutuh Nasang Tingang dia bahelat andau, maraga kalawet isen sangkelang pandang kalaman” artinya: kapan berakhir pekerjaan ini, setiap hari mencari daging burung tingang, mencincang daging monyet/ owa-owa. Padahal yang dicincang adalah keladi untuk babi peliharaannya.
Senandungnya terdengar oleh Sangiang dan memerintah Sahawung dan Lewu Telo (nama dewa kepercayaan masyarakat Kaharingan turun ke bumi menggunakan Palangka Bulau (nama sejenis perahu alam atas menuju danum kalunen (bumi) tempat Bowak berada, dan Bowak langsung di ajak ke Lewu Telo (tempat gaib alam atas).
Bowakpun diterima dan diperlakukan dengan baik dan diuji atas senandungnya tadi Bowak diajak berburu burung tingang untuk melihat siapa paling banyak mendapatkannya. Ternyata Bowak yang menang berhasil mengumpulkan burung tingang.
Ujian kedua mengajak Bowak mengintai ikan dengan cara bersiul atau (manyan tamban) sehingga ikan-ikan bermunculan, sehingga mudahlah ikan tersebut ditangkap pakai tangan atau ditombak. Untuk kali ini Bowak terbanyak mengumpulkan ikan.
Pada suatu malam Sahawung dan seluruh penghuni Lewu Telo mengadakan rapat mempersiapkan bahan dan alat membangun Mihing. Karena pada saat itu Bowak ada dekat mereka maka mereka menutup Bowak dengan kajang dan dikurung sehingga tidak melihat proses pembuatan Mihing, tapi Bowak berkata dia dapat melihat proses pembuatan Mihing tersebut. Tahap kedua akhirnya orang di kampung telo menutupinya dengan “Garantung” atau gong sehingga Bowak tidak melihat proses pembuatan Mihing tersebut, namun Bowak kembali mengatakan dapat melihat proses pembuatan Mihing dengan jelas walapun kenyataanya dia tidak melihat apapun karena gelap. Tahap ketiga akhirnya orang di kampung telo menutupinya dengan “lunta” atau jala agar Bowak tidak melihat proses pembuatan Mihing tersebut, namun bowak membohongi sambil menangis bahwa dia tidak melihat apapun karena gelap padahal proses pembuatan Mihing tersebut dapat dilihatnya dengan jelas dan dalam hatinya bertanya apa, bagaimana kegunaan Mihing. Bowak melihat bagaimana cara membuat Mihing dan terlihatlah manfaat Mihing tadi dalam sekejab dimasuki harga kekayaan berupa gong, balanga, emas, intan dan sebagainya.
Setelah 3 bulan di Lewu Telo Bowak dipulangkan ke pantai danum kalunen, Bowak termasuk orang cerdas dan mampu mengingat kembali dan membuat bagaimana cara serta tehnik membuat Mihing tadi di bumi. Ketika Mihing hampir selesai dalam sekejab Mihing bergoyang dan diisi oleh gong, guci, balanga, emas, intan yang berasal dari lewu telo, dari barang yang sudah terkumpul sebelumnya.
Mengetahui penyebab itu maka Sahawung turun ke bumi dan memanggil Bawok dan mengatakan telah cukup harta yang kamu peroleh, Mihing ini tidak boleh dibangun di atas tanah atau daratan kecuali dibangun di sungai dan hanya boleh dimasuki ikan besar maupun kecil. Sejak itulah manfaat Mihing digunakan sebagai penangkap ikan. Mengambil ikan di bagian buritan Mihing jangan sampai mengeluarkan darah dari ikan sebab dapat mengakibatkan ikan tidak mau masuk Mihing akibat tercium jenis ikan lainnya
Di akhir hidupnya Bowak sejahtera dan mempunyai harta benda yang cukup untuk memenuhi keperluan hidupnya. Diyakini oleh masyarakat sekitar Tumbang Danau Bowak menjadi gaib dan menghilang di sebelah hilir kampung Tumbang Danau yang saat ini disebut kaleka.
Batasan daerah pemasangan Mihing hanya pada sungai Kahayan batas sebelah hulu de desa Tangkahen (dahulu dikenal nama desa Tumbang Danau Mihing) atau dikenal juga dengan nama Lewu Pandih Nyaring Rundum Bayang Henda. Sekarang tempatnya angker, di daerah tersebut tinggal sisa pohon kelapa, durian, langsat dan tanaman lainnya yang usia kampung tersebut diperkirakan mencapai sekitar 500 tahun. Menurut Sunthin Mahar (64), Mihing terakhir dibuat pada tahun 1961.
Sumber:
1. Sunthin Mahar (64) dari Desa Kampuri Kecamatan Mihing Raya Kabupaten Gunung Mas, saksi hidup pada waktu beliau berumur 16 tahun.
2. Bahan bacaan dari museum negeri “Balanga” pemerintah propinsi Kalteng

Read More......

Pohon Hayat Suku Dayak Kaharingan
Imam Qalyubi

Penulis adalah konservator naskah-naskah kuno Nusantara. Mahasiswa S3 Ilmu Budaya UGM.

Di Nusantara, mitos pohon hayat telah menjadi konsepsi bersama yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian mitos pohon hayat banyak ditemukan dalam mitologi beberapa suku di Indonesia walaupun dengan penamaan yang berbeda-beda akan tetapi system perlambangannnya hampir sama sehingga dalam pemaknaannyapun cenderung sama.


Secara umum pohon dalam berbagai kehidupan budaya Nusantara dipercaya memiliki kekuatan sebagai pemberi petunjuk kehidupan, pemberi keteduhan, pemberi perlindungan. Sebagaimana kepercayaan orang Jawa terhadap beberapa pohon keramat seperti pohon Dewadaru (anugerah Dewa), pohon waringin kurung di Keraton Yogyakarta dan puluhan atau bahkan mungkin ratusan pohon-pohon keramat lainnya yang hingga kini masih dikeramatkan dan tersebar di beberapa tempat di Jawa maupun di beberapa tempat di Indonesia.

Pohon dalam pandangan masyarakat Nusantara lama secara anatomis dianggap sebagai personifikasi manusia yang memiliki rambut, tangan, kaki, bernafas, dll. Sehingga pohon dianggap sebagai saudara tua yang lebih dulu ada sebelum manusia muncul di permukaan bumi ini. Pohon dengan segala mitosnya kemudian diperlambangkan sebagai pohon hayat yang diukirkan pada wayang Jawa yang berkembang pada masyarakat Jawa Islam. Pohon hayat yang terdapat dalam pewayangan pada masyarakat Jawa Islam sering dipertalikan dengan para wali atau sunan karena pada masa itu wayang digunakan sebagai media dakwah. Ukiran pohon hayat dalam pewayangan dikenal sebagai gunungan karena bentuknya yang menyerupai gunung.

Selain suku Jawa, suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah penganut Kaharingan adalah satu suku di nusantara ini yang juga memiliki konsep pohon hayat. Pohon dalam alam pikiran suku Dayak dianggap sebagai pemberi kehidupan sehingga pohon kemudian disimbolikkan sebagai pohon kehidupan atau Batang Garing . Pohon hayat atau Batang Garing bagi penganut Kaharingan merupakan perlambangan sebuah keabadian yang akan ditemui pada kehidupan swargaloka (baca:surga).

Jika ditelisik lebih jauh suku Dayak penganut Kaharingan memiliki suatu pandangan bahwa pohon yang bukan dalam pengertian simbolik adalah subyek yang berdiri secara linear dengan manusia sehingga hutan yang merupakan masyarakat pohon atau komunitas dalam dunia perpohonan menjadi satu ikatan yang tidak dapat dilepaskan. Manusia dan hutan adalah dua subyek dengan kapasitasnya masing-masing. Manusia tidak hanya diposisikan pada tataran subyek semata khususnya dalam memperlakukan hutan akan tetapi di sini alam turut menjadi subyek yang dapat memberikan pengaruh terhadap prilaku manusia di sekitarnya.

Jika dilacak dari aspek kesejarahan konsep pohon hayat pada penganut Kaharingan dimungkinkan hasil pengadopsian dari kebudayaan Hindu lama yang terdapat di pulau Jawa lama yaitu pohon kalpataru. Hal ini dapat dilihat pada relief Candi Prambanan. Di situ terpampang jelas gambar lengkap pohon hayat atau kalpataru dengan segala simbol-simbolnya. Namun terdapat sebuah pendapat lain bahwa nama kalpataru sendiri muncul pertama kali di Kalimantan. dan dipahatkan pada prasasti di Kutai pada masa kerajaan Hindu tertua Nusantara dengan rajanya Mulawarman. Dalam prasasti tersebut dikatakan bahwa istilah kalpataru awalnya adalah istilah yang mengacu pada aktivitas pemberian sedekah yang dilakukan oleh Raja Mulawarman sendiri kepada rakyatnya. Seiring dengan perjalanan waktu, nama kalpataru kemudian berubah menjadi sebuah falsafah atau perlambangan sebagai pemberi kehidupan, karena dengan pemberian atau sedekah tersebut seseorang akan dapat menyambung hidupnya pada hari berikut dan seterusnya.

Terlepas apakah pohon hayat atau Batang Garing pada penganut Kaharingan berasal dari Kalimantan atau Jawa, yang jelas simbol Batang Garing merupakan sebuah konsep pohon hayat sebagaimana yang diyakini oleh beberapa suku di Nusantara. Jika dianalisis secara linguistis kata batang sendiri berasal dari bahasa Melayu yang artinya “pohon”. Sementara kata garing yang artinya “hidup,” diduga berasal dari bahasa Dayak kuno. Namun dalam pengamatan penulis kata garing berasal dari kata aring yang artinya nama sebuah pohon di Jawa (lihat Prawiroatmojo, 1980:17). Melalui proses linguistis kata aring kemudian berubah menjadi garing, dan kemudian menjadi Batang Garing sebagaimana yang dipahami oleh penganut Kaharingan kini.

Bagaimana kemudian makna perlambangan dari Batang Garing itu sendiri? Dengan penggambaran yang meyeluruh Batang Garing memiliki berbagai macam simbol seperti, tombak, gong, pohon utuh, buah-buahan, ranting-ranting permata, bintangbintang, belanga dan dimungkinkan masih terdapat simbolsimbol lainnya yang belum penulis temukan secara komplit karena antara gambar yang satu dengan yang lainnya cukup berbeda. Simbol-simbol yang terdapat dalam Batang Garing tersebut, jika dimaknai dengan pendekatan semiotis dengan landasan pemaknaan secara ke-nus-wantaraan, akan memiliki pemaknaan sebagai berikut:

Batang yang tegak lurus maknanya adalah hubungan manusia dengan sang pencipta, di mana sang pencipta dipersepsikan berada di aras atas sehingga ujung pohon menunjuk pada arah tersebut. Belanga atau tajau, adalah simbol tempat air kehidupan atau tirtamerta. Daun, adalah daun hijau abadi yang tidak akan pernah layu sehingga secara berkelanjutan akan memberikan kesejukan bagi makhluk yang hidup dalam keabadiannya. Ranting-ranting dari permata, merupakan perlambang pohon yang akan memberikan kesejahteraan dan perlambang kemewahan alam surgawi. Buah-buahan dari permata, adalah perlambangan dari kemakmuran kesejahteraan yang jika dipetik tidak akan pernah habis dan akan berbuah sepanjang masa. Tombak, sebagai perlambang untuk menjaga kesucian dari Batang Garing. Bintang-bintang, merupakan perlambang untuk menerangi alam semesta. Gong, sebuah anomatopi yang artinya Gung atau keagungan atau yang maha besar.

Jika dilihat dari aspek ekonomi bahwa pohon itu sendiri dapat menghasilkan uang yang dapat membantu perekonomian dan perbaikan kehidupan masyarakat sementara pada tataran kosmologi bahwa pohon selain pemberi kehidupan di satu sisi pohon juga merupakan partner yang linear dengan manusia yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Sementara pada aspek pemaknaan simboliknya bahwa konsep pohon hayat merupakan konsep pohon surgawi dimana segala macam bentuk kenikmatan semua tersedia disitu yang diperuntukkan Tuhan kepada manusia yang dipilihnya.

Teras Mihing, Ph.D
Palangkaraya, 15 Juli 1986

Hidup, menurut orang Dayak Ngaju yang tinggal di sepanjang sungai Kapuas, Kahayan, Katingan, Rungan, Manuhing dan Mentaya merupakan suatu hasil benturan dua kekuatan. Alam semesta terbentuk karena adanya benturan antara benda-benda langit yang dengan dahsyatnya menyemburkan api-api yang terpercik kemana-mana dan kemudian membentuk alam semesta. Alam itu kemudian terbagi atas alam yang dikuasai oleh Ranying Mahatala Langit dan dunia bawah yang dikuasai oleh Jata atau Tambun. Walaupun terdapat dua mahadewa tersebut, namun pada hakekatnya kedua mahadewa tersebut adalah satu, sebaba Jata sebenarnya tidak lain adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatala Langit sendiri. Keduanya berbeda dan memiliki daya hidup serta kekuasaan sendiri-sendiri, tetapi keduanya memebentuk suatu keutuhan kosmis. Jika salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu.

Manusia sendiri tercipta akibat terjadinya benturan berupa perkelahian antara dua ekor enggang, yaitu enggang jantan dan enggang betina yang sedang mencari dan memakan buah dari Pohon Kehidupan atau Batang Garing. Enggang betina mulai bergerak dari bawah pohon sedangkan enggang jantan bergerak dari puncak ke bawah. Ketika kedua enggang bertemu maka perkelahian hebat yang berakhir dengan matinya kedua burung tersebut setelah memporakporandakan Batang Garing. Bagian-bagian dari Batang Garing yang berserakan dan bertebaran dimana-mana kemudian memunculkan berbagai kehidupan termasuk manusia laki-laki dan manusia perempuan.

Dari wawasan dasar tentang kosmis tersebut, orang-orang dayak Ngaju menganggap bahwa kosmis ini akan selalu berisikan dua kekuatan yang bisa bertentangan dan berbenturan untuk kemudian membentuk suatu kehidupan baru. Benturan-benturan bukanlah hal yang dianggap menakutkan, sebaliknya dianggap sebagai kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Karena itu orang-orang Dayak harus selalu bersifat terbuka dan siap menanggung kesulitan-kesulitan yang terjadi, karena benturan-benturan antara kebudayaan dan tata nilai mereka yang lama dengan kebudayaan dan tata bilai baru yang mungkin saja sangat bertentangan dengan kebudayaan dan tata nilai tradisional mereka. Justru dengan memanfaatkan benturan-benturan tersebut orang-orang Dayak akan mampu menyusun suatu tatanan baru yang lebih sesuai dan yang memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.

Batang Garing dan Bagian-bagiannya Sebagai Lambang, Pohon Batang Garing berbentuk tombak dan menunjuk ke atas. Pohon ini melambangkan Ranying Mahatala Langit. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Dengan demikian disampaikan pesan bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda, tetapi sebenarnya merupakan suatu kesatuan dan saling berhubungan.

Dahan-dahan pohon berlekuk sedemikian rupa untuk melambangkan Jata sedangkan daun-daun berbentuk ekor burung enggang. Di sini juga dilambangkan bahwa kesatuan itu tetap dipertahankan.

Buah Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sekali lagi diingatkan bahwa turunan manusia harus mengarahkan pandangannya bukan hanya ke atas, tetapi juga ke bawah. Dengan kata lain manusia harus menghargai Ranying Mahatala Langit dan Jata secara seimbang. Ditafsirkan menurut pengertian kontemporer, orang Dayak haruslah mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan keduniaan dan kepentingan akhirat.

Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.

Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.

Read More......