FRIDOLIN UKUR


Pemirsa televisi pada tahun 1970-an mengenal dia sebagai pendeta berpeci. Sebulan sekali ia tampil di Mimbar Protestan TVRI. Bahasanya khas dengan banyak idiom. Kalimatnya sering puitis, bahkan dalam khotbahnya ia pun acap berpuisi. Ia pun suka menggunakan kata-kata asbstrak seperti bahan kelampauan, isi kekinian, atau harga keakanan. Pemirsa perlu berpikir dua kali untuk memahami isi khotbahnya. Tetapi khotbahnya yang sering diselingi senyum disukai banyak orang karena berbobot dan memikat. Pendeta berpeci itu adalah Fridolin Ukur (1930-2003).

Ukur jauh melebihi saya dalam segala hal. Ia sudah menjadi mahasiswa STT Jakarta ketika saya masih murid SD di Bandung. Tetapi kemudian hari jalan hidup kami bersilang.

Ketika saya menjabat pengurus GMKI cabang Malang, dua kali saya menjadi tuan rumah Ukur yang berkunjung sebagai sekretaris umum GKMI pusat untuk melakukan latihan kepemimpinan. Langsung saya mendapat kesan bahwa ukur berwatak gesit, sadar waktu, dan suka kerja keras. Ia meminta agar kunjungannya selama lima hari itu dijadwal secara ketat dan padat. Ia tidak mau membuang waktu. Watak itu terus tampak secara konsisten dalam persahabatan kami selama 45 tahun.

Pada pembukaan latihan kepemimpinan itu, Ukur mengacu ke ayat yang berbunyi, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus aku, selama masih siang. Akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh. 9:4).

Lalu Ukur berkata kurang lebih, “Kalian adalah benih unggul. Masa hidup di kampus cuma lima tahun. Jangan sia-siakan masa lima tahun ini dengan bersantai atau berpacaran. Tetapi gunakan ini sebagai kesempatan menumbuhkan benih unggul di dalam dirimu. Kembangkan jiwa pengabdian dan kepemimpinanmu. Jadilah guru sekolah Minggu, pengurus pemuda, atau pengurus kepanduan. Lahap semua buku di perpustakaan. Baca semua koran dan simak problematik masyarakat. Siapkan diri menjadi pemikir yang kelak menyumbangkan pemikiran bagi masyarakat dan gereja. Jadilah mahasiswa unggul yang lulus cum-laude. Nanti jadilah jaksa yang kejujurannya unggul. Jadilah dokter yang terapinya unggul. Jadilah pendeta yang khotbahnya unggul. Apa pun profesimu, kamu mengerjakan pekerjaan Allah jika perilaku dan kinerjamu menjadi kesaksian yang patut diteladani.”

Pada malam itu dibecak kami berdua tidak banyak bercakap-cakap karena letih. Tetapi demi kesopanan, saya berbasa-basi, “Bapak baru pulang dari Jerman. Apa kesan Bapak tentang mahasiswa teologi di Jerman? Ukur menjawab, “Mahasiswa di sana punya banyak buku . mereka banyak membaca. Mereka banyak menulis paper. Pokoknya banyak kerja tetapi makannya juga banyak dan enak” lalu ia tertawa sambil menceritakan makanan Jerman. Pada saat itu kami berdua betul-betul lapar.

Setelah masa jabatannya di GMKI pusat selesai, Ukur kembali ke Gereja Kalimantan Evangelis. Ia menjadi pendeta jemaat dan rektor STT Banjarmasin. Kemudian hari selama delapan tahun dia menjadi direktur lembaga penelitian PGI, guru STT Jakarta, sekretaris umum PGI dan konsultan BPK Gunung Mulia.

Sementara itu, Ukur digemari oleh banyak kalangan sebagai penceramah favorit karena pembawaanya yang kocak. Ceramahnya padat dan singkat. Ia cakap bercerita. Hadirin meledak dalam tawa jika ia menceritakan anekdot yang nyerempet politik atau nyerempet pornografi.

Sumbangsih Ukur yang lebih khas adalah tulisannya. Ia banyak menulis di Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Berita Oikumene. Sebagai sastrawan dan penyair ia juga banyak menulis puisi. Dua buku kumpulan puisinya diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan judul Darah dan Peluh dan Wajah Cinta.

Watak Ukur yang sadar waktu dan suka bekerja keras tersirat di sana-sini dalam tulisannya dan terutama dalam puisinya. Tulisannya,

Waktu pun berbisik:
Pengalaman yang berserakan
Jejak-jejak yang ditinggalkan
Adalah kelopak-kelopak bunga cinta,
Sebuah bunga rampai
Mekar di tangkai;
Seperti bianglala menganyam mimpi
Meraih, menggapai, memeluk fajar
Sebuah harapan tak pernah pudar!

Aku pun ikut berbisik:
Perjalanan ini, sayang
Bukannya ruang sempit dan lorong sepi!
Kembara ini, kasih
Adalah jalan lebar menyemai cinta
Di atas bumi
Di antara sesama ….

Tersirat dalam banyak puisi Ukur bahwa tiap hari merupakan perlombaan lari. Ukur merasa diri berlari, bukan seorang diri melainkan dengan sang waktu, ia berpacu dengan waktu, ia dan waktu berlari bersama tiap hari, namun sering ia merasa ditinggal oleh waktu. Ia merasa dikhianati oleh waktu. Tulisnya:

Apakah waktu mengkhianati aku
Ketika aku disibuki dengan ceramah
Ketika aku berkhotbah tentang
Cakar hitam dan pagi biru,
Ketika gairah kuhabiskan di konferensi
Dan rapat-rapat…
Masih ada waktu melempar bayang
Menanya diri dan kesilaman:
Tentang khianat dan bakti
Tentang dosa dan pengampunan suci
Tentang kawan berdoa pengisi sunyi…

Walaupun Ukur disibukkan oleh banyak pertemuan oikumenis, namun ia tetap merasa tertanam di bumi Kalimantan. Bagi Ukur, Gereja Kalimantan Evangelis adalah bagaikan ibu pengasuhnya. Sebab itu ia terus menggumuli hubungan iman Kristen dengan budaya Dayak melalui banyak penelitan lapangan dan kepustakaan. Bagi agama suku Dayak, atau agama Kaharingan, bumi adalah tempat tinggal daya-daya gaib yang tidak tampak. Supaya daya-daya gaib itu tidak menimbulkan bencana, manusia harus memelihara keserasian dengan alam melalui upacara adat. Studi lanjut Ukur di Swiss dan disertasinya di STT Jakarta adalah tentang hubungan iman dan budaya.

Ukur memandang Kalimantan sebagai ladang pekerjaan Allah yang penuh dengan tuaian, namun kekurangan penuai, sejajar dengan ucapan Yesus yang berbunyi, “ …Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang mempunyai tuaian, supaya ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Mat. 9:37-38).

Kedekatan Ukur dengan bumi Kalimantan tampak dalam bukunya yang berjudul Tuaiannya Sungguh Banyak – Sejarah Gereja Kalimanan Evangelis. Ia menggambarkan pulau Kalimantan sebagai “hutan rimba … ngeri menyeramkan, sungai-sungai yang menganga lebar … berhari-hari berlayar tidak jua bersua kampung”. Gereja di Kalimantan mulai tumbuh pada tahun 1920-an dengan nama Gereja Dayak Evangelis berkat pengorbanan para misonaris dari Swiss.

Dalam buku itu Ukur juga menceritakan langkah-langkah pertama pewartaan injil di bumi Kalimantan, yaitu melalui pembangunan sekolah penyuluh kesehatan, sekolah perawat, sekolah pertanian, sekolah guru dan sekolah teologi. Serempak juga dibangun percetakan yang mencetak buku-buku Kristen dalam berbagai dialek Dayak, yaitu bahasa Ngaju, Maanyan, Ot Danum, Samihin dan yang lainnya. Pendeta yang pertama lulus pada tahun 1937. Mereka terdiri dari tiga belas orang etnik Dayak dan seorang etnik Tionghoa.

Sejak awal umat sudah dididik untuk beribadah secara tertib dan teduh, tidak terlambat, dan tidak gaduh. Ukur mengutip peraturan tahun 1934 yang berbunyi, “… maka haruslah segala orang jemaat itu sudah sedia duduk pada tempatnya dengan diam-diam …setelah orang banyak menyanyi pada pertama kalinya, maka pintu ditutup dan dikunci. Barang siapa datang sesudah itu, haruslah menunggu di luar….”.

Masih ada beberapa buku lain tulisan Ukur yang tidak disebut di sini. Ia menulis terus sampai akhir hayatnya. Ketika tubuhnya kian lemah termakan penyakit, tiap hari ia masih menulis di rumah atau di rumah sakit. Tiap hari terjadwal dengan ketat. Ia hanya beristirahat sebentar untuk meneguk kopi, mengisi teka-teki silang, atau membaca cerita cowboy, lalu menulis lagi.

Ukur hidup dalam kesederhanaan sering ia berkata bahwa ia tidak punya apa-apa, mungkin karena memang tidak perlu punya apa-apa. Dalam penggalan puisinya ia menulis,
Lalu hari-hari kesulitan,
Selalu bertaut keriaan dan kerelaan…
Puisi kehidupan kian matang
Tentang penyerahan dan cinta.
Kita memang tak punya apa-apa
Kecuali cinta!

Berkali-kali Ukur dirawat di rumah sakit. Pernah ia sama-sama dirawat di rumah sakit yang sama dengan Dick Maitimoe, yang juga lulusan STT Jakarta. Lalu di situ Maitimoe meninggal dunia. Penggalan puisi kesedihan Ukur berbunyi,
Makin terasa
Kita tengah berpacu dengan waktu
Antara tugas panggilan suci
Terus menanti
Dengan tubuh yang tambah rapuh
Dimakan usia tambah menua
Dalam lomba ini
Kau mendahului kami
Pulang ke rumah Bapa
hari ini!

Sepanjang jalan hidupnya, tidak ada waktu yang disia-siakan oleh Ukur. Ia terus bekerja. Walapun hidupnya berakhir dengan keringkihan dan kerentaan, namun seluruh masa hidupnya telah menjadi berkat bagi kalangan yang luas. Tulisnya,
Karena langkah-langkah kaki kita
Sudah terseret, selangkah-selangkah
Tidak lagi semantap dulu!
Tak usah risau
Tak usah resah
Telah kita tanami bibit cinta
Telah kita semai benih-benih kasih
Di sepanjang perjalanan pengabdian…

Salah satu puisi Ukur yang terakhir dan belum dipublikasikan bertutur lirih,

Dalam penantian ini
Diri tejepit antara gunung kehidupan dan tubir kematian
Keduanya menawarkan pengharapan
Kehidupan kekinian, di sini
Kehidupan keakanan , di sana …

Benih unggul dalam diri Fridolin Ukur telah berbuat lebat. Ia telah menjadi tuaian dan penuai di ladang pekerjaan Allah. Ia telah menuai selama masih siang dan … tuaiannya sungguh banyak!.

Sumber: Selamat Bergereja, Andar Ismail. Halaman 19-25.
Sumber foto: profile.ak.fbcdn.net

Read More......