PAULUS BUNDE, PELESTARI SENI PAHAT DAYAK


Seperti juga di daerah lain, beragam seni tradisi suku Dayak semakin luntur. Tak banyak lagi orang yang melestarikan seni tradisi suku yang mendiami Pulau Kalimantan yang amat beragam itu.

Salah satu dari sedikit orang yang berusaha melestarikan seni tradisi Dayak adalah Paulus Bunde (45), orang asli Dayak kelahiran Kapuas Hulu, sebuah kabupaten di Kalimantan Barat bagian timur laut yang berbatasan dengan Malaysia.

”Semasa kecil ketika di kampung saya masih sesekali melihat orang-orang tua memahat kayu untuk ukiran peti mati atau lukisan-lukisan Dayak saat gawai adat. Namun, sekarang itu semakin jarang saya lihat,” ujar Bunde. Gawai adat adalah upacara tahunan masyarakat Dayak setelah masa panen.
Bunde lahir di Kampung Belimpis, Desa Belimpis, Kecamatan Balo Hulu yang terkenal dengan rumah betangnya. Belum lama ini rumah betang di Belimpis terbakar habis dalam sebuah musibah.

Memasuki masa remaja, Bunde makin jarang melihat kegiatan-kegiatan berbau seni di kampungnya. Keprihatinan atas terus lunturnya seni tradisi Dayak makin menjadi-jadi ketika dia bertugas di Samarinda, Kalimantan Timur, tahun 1992.

”Di sana saya bertemu dengan orang Jawa yang membuat ukir-ukiran, patung, dan berbagai kerajinan khas masyarakat Dayak,” kenangnya. Dia heran karena ternyata kerajinan itu sangat laris dan bahkan sudah diekspor ke sejumlah negara. ”Saya lebih heran lagi karena dia bukan orang Dayak, sementara saat itu saya tidak bisa menjumpai orang Dayak yang bisa melakukan seperti dia,” kata Bunde.

Berbekal pertemuannya dengan seorang perajin dari Jawa itu, Bunde lalu melakukan riset ke sejumlah daerah pedalaman di Kapuas Hulu. Awalnya Bunde bertemu dengan tetua adat yang masih memiliki kedekatan dengan budaya Dayak. Salah satu tetua yang ditemuinya adalah pemilik kerajinan berbentuk replika sampan perang dan sampan upacara adat.

Bunde kemudian mencoba membuat kedua replika itu. Awalnya dia agak kesulitan membuatnya lantaran memang tidak pernah belajar memahat. Maklum, Bunde adalah seorang sarjana hukum.

Suatu ketika, Bunde bertemu seorang penampung hasil kerajinan asal Malaysia yang membuka usaha di Kuching, ibu kota Negara Bagian Serawak. ”Ternyata replika sampan perang dan sampan upacara adat buatan saya banyak peminatnya di Kuching,” katanya. Penampung hasil kerajinan itu meminta Bunde memproduksi lagi secara rutin, sampai sekarang. Selain replika sampan, Bunde juga masih tetap memasok sejumlah kerajinan khas Dayak berbahan dasar kayu, seperti gitar khas Dayak, kotak tato, dan amben (tas/ransel kayu).

Bunde mengaku tidak banyak menjual hasil karyanya di Pontianak. Dia hanya menitipkan sejumlah jenis hasil kerajinannya ke sejumlah toko suvenir. Salah satunya adalah sampan dengan panjang 50 sentimeter yang dijual Rp 250.000, gitar khas Dayak sepanjang 1,5 meter (Rp 250.000), dan amben khas Dayak (Rp 500.000).

”Saya lebih banyak menjual ke Kuching karena pesanannya banyak dan rutin, hampir setiap bulan. Kalau pesanan lagi banyak, saya mendatangkan warga kampung untuk membantu mengerjakannya. Lumayan berbagai barang ukiran itu bisa terjual antara 30 ringgit dan 300 ringgit per buah,” katanya.

Unik

Kerajinan khas Dayak produksi Bunde memiliki keunikan pada cara pembuatannya. Bunde yang dibantu oleh sejumlah perajin di sebuah sentra kerajinan itu menggunakan teknik pengasapan untuk membuat kayu menjadi kering dan tak dimakan rayap.

Pengasapan itu juga membuat hasil kerajinan Bunde memiliki ciri khas, yakni berwarna hitam. Kalau masih bisa mendapat bahan baku kayu belian (ulin), tak perlu diasapi. Kayu belian memang sangat bagus karena merupakan salah satu jenis kayu yang sulit lapuk. ”Kayu yang lebih sering saya gunakan adalah kayu leban yang akan bagus kalau diasapi,” tutur Bunde.

Barang kerajinan pahat khas Dayak itu ternyata datang dari sebuah bengkel sederhana di Gang Bersatu, Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalbar. Di rumah yang sederhana itu Bunde memiliki dua tempat pembuatan barang kerajinan.

Kedua tempat pembuatan barang kerajinan itu masing-masing berukuran sekitar 2 meter x 4 meter. Langit-langit ruangan sudah penuh sarang laba-laba. Debu pun hampir memenuhi semua sisi ruangan.

Namun, dari tempat sederhana itu, Bunde mencoba menjaga idealismenya. ”Saya hanya ingin seni tradisi Dayak, salah satunya pahatan yang memiliki beragam motif ini, bisa terjaga dan tidak hilang,” katanya.

Keunikan karya Bunde sudah diakui para wisatawan yang berkunjung ke Kuching. Wisatawan yang mencari kerajinan tangan di kawasan Main Bazaar, Water Front City, Kuching, tak akan sulit mendapatkan karya Bunde. Bahkan, karya Bunde bisa dibilang menghidupi kawasan itu.

”Di kawasan yang khusus untuk penjualan kerajinan tangan itu hampir sebagian besar barangnya merupakan produksi Indonesia. Orang-orang Malaysia dan wisatawan Eropa yang datang ke Kuching sangat menghargai karya-karya orang Indonesia. Di rumah-rumah sederhana orang di Kuching, saya melihat banyak kerajinan tangan khas Indonesia yang mereka pajang,” kata Bunde.

Namun, hal itu amat berbeda dengan pemandangan di kebanyakan rumah orang-orang berpunya di Kalimantan. ”Walaupun mereka memiliki uang lebih, ternyata tak banyak hasil kreasi seni yang mereka pajang. Berarti ini bukan soal sudah sejahtera atau belum, kan?” tutur Bunde.

Lalu tak takutkah Bunde kalau suatu saat karyanya diklaim dan dipatenkan oleh orang Malaysia seperti yang belakangan sering terjadi? ”Kenapa mesti takut, itu kan karya orang Dayak. Orang-orang Malaysia sebagian juga merupakan orang Dayak. Kami hanya dipisahkan oleh kepentingan politik bernama garis batas negara,” ujarnya.

Kini Bunde hanya bisa menunggu upaya pemerintah agar kekayaan seni dari berbagai suku bisa tumbuh dan menghidupi masyarakatnya. ”Kalau karya-karya itu tidak tumbuh atau bisa menghidupi orang-orang yang menekuninya, barangkali kekayaan seni tradisi itu akan segera punah seperti yang kita prihatinkan,” katanya.

Hingga kini warga asli suku Dayak itu masih tetap hidup dengan idealisme dan kesederhanaannya. Bunde dan keluarganya tetap tinggal di ujung gang yang belum beraspal. Tak banyak orang menyangka bahwa pemilik rumah kecil itu merupakan salah satu perajin yang diperhitungkan di Kuching, Malaysia.

PAULUS BUNDE

• Lahir: Kapuas Hulu, 2 Febuari 1965
• Istri: RM Sri Widiyatmi (40)
• Anak: - Pande Prakosa (15) - Maria Aurelia (9)
• Pendidikan: - SD Benua Martinus, Kapuas Hulu - SMP Benua Martinus - SMA Pancasetia, Sintang - Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
• Penghargaan: Juara Desain Produk Inacraft 2007

sumber berita & foto: kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar