DEKLARASI HUTAN ADAT DAHAS BOLAU


Seekor babi dan ayam sudah disiapkan di sekitar tugu tempat deklarasi hutan adat Dahas Bolau di Tapin Bini, Lamandau Kalteng. Kedua binatang ini akan diambil darahnya untuk Mambia Tanah oleh Damang kecamatan Lamandau Tjangkal Sepenar. Tidak ketinggalan pula tuak, beras kuning dan ancak yang terbuat dari bambu dan alat bahan kelengkapan adat lainnya. Acara adat ini dilaksanakan oleh masyarakat adat Dayak Tomun, sebelum deklarasi hutan adat keesokan harinya, tujuannya adalah untuk menimang tanah agar tidak diganggu gugat oleh manusia yang ingin merusaknya.

Sebanyak 50 orang lebih turut menghadiri deklarasi hutan adat ini. Tidak hanya dari desa Tapin Bini yang ikut, dari desa Sekoban dan Bokunsu juga terlihat hadir. Dari pemerintah desa tampak hadir Lurah Tapin Bini, Yusmin. Namun, dari pihak perusahaan maupun dinas terkait tidak terlihat. “Dari perusahaan itu entah salah komunikasi, sehingga tidak ada yang hadir. Pada saat deklarasi mereka juga complain karena tidak diundang, mungkin kesalahan teknis,” jelas Ethos H.L Ketika KR mengkonfirmasi ini ke pihak perusahaan melalui HP, Agus yang bekerja di staf CSR PT. Pilar Wana Persada mengatakan, mungkin kendala transportasi sehingga undangan tidak diterima.

“Acara ini berawal dari keinginan masyarakat adat Dayak Tomun yang ada di sekitar hutan ini agar ada kawasan hutan yang tetap lestari sehingga budaya Dayak tetap terjaga,” jelas pria yang juga menjabat sebagai General Manajer CU Betang Asi.

Tapin Bini dapat ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan roda empat selama 12 jam dari kota Palangka Raya. Kabupaten Lamandau yang berbatasan langsung dengan propinsi tetangga Kalimantan Barat, bahasa daerahnya yang disebut Tomuan mirip dengan bahasa di daerah kabupaten Ketapang propinsi Kalimantan Barat.

Menurut Ethos, deklarasi kali ini untuk memastikan bahwa pengakuan masyarakat betul-betul serius dan ada kawasan Dahas Bolau. Sejauh ini orang mengakui setelah digusur, sekarang di kawasan Dahas Bolau dilakukan sebelum digusur, walaupun kawasan ini sudah masuk dalam kawasan HGU.

Namun, masyarakat ingin bahwa perusahaan dapat melepaskan kawasan Dahas Bolau ini untuk masyarakat Dayak Tomun. Hal inilah yang mendorong masyarakat melakukan deklarasi di kawasan Dahas Bolau. Setelah deklarasi dilanjutkan dengan pengangkatan atau pembentukan Badan Pengelola Kawasan Adat yang diketuai oleh Uberlin Rewel.

Melalui HP, Uberlin Rewel menjelaskan kepada KR akhir Oktober, pasca deklarasi. Bahwa dampak negatipnya belum ada melainkan dampak positipnya masyarakat semakin mempertahankan hutan adat ini. “Walapun ada isu sekelompok masyarakat membentuk kelompok tani yang ingin mengelola kawasan Dahas Bolau namun sekarang agak reda, mudah-mudahan tidak berlanjut,” kata Uberlin.

Uberlin menambahkan, pro kontra terjadi setelah deklarasi. Cukup banyak dari masyarakat yang pro dan yang kontra ada dari pemerintah tapi tidak hanya sebagian saja. “Tanggapan dari pemerintah daerah, pak Bupati merespon baik dan mendukung deklarasi ini,” jelasnya.

“Kegiatan ini dilakukan selama dua hari yaitu pada tanggal 17-18 Mei 2010 lalu. Hari pertama dimulai dengan Mambia Tanah,“. Ditegaskan oleh Balian (pimpinan upacara adat Dayak) bila ada yang mengganggu akan dicabut nyawanya, kata Ethos.

Ethos melanjutkan, hari kedua baru dilaksanakan deklarasi yang dipimpin oleh Damang kepala adat Tjangkal Sepenar. “Saya pada waktu itu diminta secara khusus oleh mereka untuk hadir, makanya saya berangkat ke Tapin Bini” jelasnya. Pada hari kedua juga dikukuhkan badan pengelola kawasan dan badan pertimbangan.

Sisi lain, menurut Uberlin Lewel pihak PT. Pilar Wana Persada menolak deklarasi ini karena ini diputuskan secara sepihak dan kawasan ini sudah masuk dalam HGU perusahaan. “Mereka memberikan surat kepada kami yang ditembusan kepada Lurah dan Bupati. Isi suratnya menolak deklarasi karena di deklarasikan secara sepihak, padahal undangan sudah diberi, tapi tidak datang waktu diundang,” jelas Uberlin.

Sementara itu, Agus mengatakan bahwa pihak perusahaan sudah mengetahui pelaksanaan deklarasinya. “Hanya luas kawasan yang belum mencapai kata sepakat, secara prinsip perusahaan sudah mengenclave kawasan Dahas Bolau. Dari pertimbangan topografi ada wilayah yang cukup datar yang masih dapat dikelola oleh pihak perusahaan. Apabila topografi agak curam itu akan dienclave, “ jelas Agus. Sebagai dasar pertimbangan lahan yang dienclave terdapat situs budaya di wilayah HGU juga tingkat topografi, jelasnya.

“Ke depan kawasan ini tetap lestari baik dan aman terkendali, karena ada situs-situs bersejarah dari masyarakat, ada tanam tumbuh, rotan pohon durian dan lain-lain, kami tetap mempertahankan hak adat,” harap Uberlin.

Acara ini ditutup dengan pembacaan deklarasi oleh ketua Badan Pengelola Kawasan (BPK) Hutan Adat Dahas Bolau, Uberlin Rewel. Di depan tugu yang terbuat dari batu semen yang dilapisi keramik berwarna biru. Pada bagian depan akan dibuat prasasti dari marmer dan pada bagian atas ini dibuat serupa pohon kayu dari beton.

Semoga tugu ini menjadi saksi sejarah masa kini dan masa depan kearifan orang Dayak Tomun menjaga hutan dan kehidupannya, walaupun ada persoalan yang masih perlu di benahi.

Sejarah Dahas Bolau

Kawasan hutan adat Dahas Bolau ini seluas 1.941 hektar, ini adalah melalui proses enclave atau zona khusus. Sebelum kemerdekaan cikal bakal desa Tapin Bini, Bokunsu dan Sekoban berawal dari tempat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tanam tumbuh seperti durian dan kuburan lama. Nama makam itu adalah Dahas Bolau.

Di tempat ini ada pemukiman tempat tinggal dari orang-orang turunan Dahas Bolau, sehingga pada saat ada masuknya perusahaan sawit PT. Pilar Wana Persada yang mengelola itu kawasan itu hingga memiliki Hak Guna Usaha(HGU). Pihak perusahaan beroperasional dan bekerja dengan berdasarkan peta. Dalam peta kawasan Dahan Bolau ini adalah kawasan yang termasuk di HGU.

Kondisi ini akhirnya membuat masyarakat agar kampung lama ini tetap di jaga, ini berarti dikeluarkan dari kawasan HGU, jangan sampai menjadi kebun sawit. Masyarakat adat Dayak Tomun (baca orang desa Tapin Bini) bekerjasama dengan NGO Lembaga Studi Pemberdayaan Masyarakat Adat dan Advokasi (LAMAN) didukung oleh Walhi Kalteng dan Sawit Watch serta berbagai pihak melakukan pelatihan pemetaan untuk memetakan kawasan hutan adat Dahas Bolau, hal ini disambut baik oleh perusahaan PT. Pilar Wana Persada.
Dalam kawasan yang luasnya kurang dari 2.000 hektar ini ada kuburan tua dan itu dimiliki secara turun temurun. Karena sudah turun temurun maka dianggap sebagai kepemilikan kolektif. Jumlah kuburan tua ini masih dalam tahap inventarisasi oleh BPK hutan adat Dahas Bolau.

Tulisan ini juga dimuat di majalah Kalimantan Review edisi Nopember 2010. halaman 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar