Cara Warga Bukit Sungkai Memelihara Harmonisasi Dengan Alam Sembelih Sapi, Kepalanya Diarak Keliling Kompleks


Hubungan harmonis dengan alam semesta merupakan bagian dari kearifan local warga Dayak Kalimantan Tengah. Hal ini disadari sepenuhnya oleh warga yang bertempat tinggal di kawasan Bukit Sungai Jalan Tjilik Riwut Km 12. Saban tahun atau tepatnya dipenghujung tahun, warga selalu menyelenggarakan ritual memapas lewu.
Kegiatan bersih desa atau mamapas lewu itu merupakan Tolak Bala menjauhkan diri dari marabahaya. Selain itu, kegiatan ini juga merupakan wujud rasa syukur sebanyak warga masyarakat secara umum, khususnya warga RT 06 RW II Kelurahan Petuk Katimpun Kecamatan Jekan Raya Palangka Raya.
Pada Minggu (27/11) kemarin sekitar pukul 09.00, kompleks pal 12 telah tampak berbagai kesibukan. Ritual Bersih Desa, Mamapas Lewu, Tolak Bala ini diikuti oleh ratusan warga.
Manir Adat Kecamatan Jekan Raya Cornelis Pith didampingi Herdiwang Thabat mengatakan arti dan tujuan dari memapas lewu adalah membersihkan kampung. Tujuannya adalah supaya kampong (Lewu,Red) itu menjadi bersih dengan niat membuang segala hal-hal yang tidak baik seperti sengketa, perkelahian dan lain sebagainya. Salah satunya sebagai tolak bala dari marabahaya.
“Segala hal-hal yang buruk kita buang jauh-jauh dan arti dari memapas lewu adalah kita bertekad satu dengan membuang hal-hal yang tidak baik,” Jelas Mantir. Acara memapas lewu pada tahun ini terbilang istimewa dari pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya menyembelih satu ekor kambing. Pada tahun ini yangdisembelih adalah satu ekor sapi. Setelah disembelih, kepala sapi yang digunakan sebagai media ritul adat diarak berkeliling kompleks. Selain kepala sapi, media lain yang mendukung acara ini adalah daun sawang warna merah, darah sapi, dan air kembang.
Kemudian diiring dengan tarian dan dua orang putri Dayak, Mantir adat selanjutnya menggenggam daun sawang dan menyuruh peserta meludah ke daun sawang. Sebelumnya mantir yang di sekelilingi warga membentuk formasi empat penjuru arah mata angin. Kemudian kepala sapi dikuburkan di salah satu lubang yang sudah disiapkan terlebih dahulu.
Acara mamapas lewu atau membersih kampong/Desa di pal 12 ini di hadiri oleh anggota komisi II Jumatni, Camat Jekan Raya sabirin Muchtar, Lurah Petuk Katimpun Berson, Ketua LKK Sukiran, Mantir Adat Cornelis Pith dan Herdiwang Thabat. Jumatni mengatakan, bahwa kegiatan memapas lewu ini sudah bagian dari tradisi di tiap tahunnya. “Dan tidak ada maksud tertentu kecuali ingin membersihkan diri demi keselamatan warga. Ini bagian dari tradisi yang tiap tahunnya dilakukan dan biasanya dilaksanakanbertepatan dengan tahun baru islam. Semoga dengan adanya kegiatan ini bisa memberikan keselamatan dan jauh dari marabahaya,” ujarnya.
Keterangan gambar: Mamapas Lewu. Seorang Mantir adat saat memimpin ritual mamapas lewu di kawasan Bukit Sungkai, kemarin.
Sumber: Kalteng Pos. Senin, 28 Nopember 2011. Hal : 9 & 12.

Read More......

Betang Toyoi, Simbol Kebersamaan dan Pluralisme


Betang adalah rumah adat Dayak yang terbuat dari kayu ulin. Rumah adat ini selalu dihuni oleh banyak kepala keluarga dan mengandung nilai-nilai sejarah kebudayaan asli Dayak Ngaju.
Di desa Tumbang Malahoi, tersisa satu betang yaitu Betang Toyoi. Betang Toyoi didirikan oleh seorang keturunan Bungan dan Burow, yaitu Toyoi bin Panji. Diprediksi betang ini didirikan pada tahun 1869. Nama Toyoi diberikan untuk menghormati pendirinya.

Betang Toyoi dibuat dengan bahan-bahan yang dikumpulkan dari bukit Takinding dan bukit Lambayung. Dikatakan sekitar 300 orang laki-laki dan perempuan dikerahkan Toyoi untuk mendirikan betang. Betang asli tidak menggunakan paku, hanya pasak dan simpul untuk menyambung bahan-bahan penyusunnya. Walaupun Betang Toyoi telah mengalami beberapa kali renovasi, keasliannya masih tetap terjaga.

Masuk ke dalam betang, kita langsung melihat ruang besar berukuran panjang sekitar 20 meter dan lebar 10 meter. Ada masing-masing empat kamar di kiri dan kanan pintu masuk. Dahulu, betang Toyoi bisa dihuni sampai puluhan orang. Saat ini, penghuninya tinggal enam keluarga yang kebanyakan perempuan tua yang ditinggal suaminya meladang. Kami memanggil mereka dengan 'tambi', nenek dalam bahasa Dayak. Di tengah ruangan terdapat empat buah tiang yang terbuat dari kayu ulin. Atap dan alas betang juga dibuat dari kayu ulin.

Di depan betang terdapat bangunan 'sandung', 'sapundu' dan tiang 'pantar' yang merupakan bangunan penting untuk menghormati keluarga yang telah meninggal dalam agama Hindu Kaharingan. Meskipun begitu, di rumah panjang itu sebenarnya terdapat pemeluk tiga agama, yaitu Islam, Kristen Protestan dan Kaharingan. Mereka hidup rukun dan saling menghargai satu sama lain. Rumah betang Toyoi menjadi saksi bisu sekaligus simbol pluralisme, yang terjadi secara nyata di Tumbang Malahoi.

Melihat penampakan dan mengetahui sejarah betang Toyoi, kita akan kagum pada nilai-nilai sosial dan sejarah kebudayaan Dayak. Sayang sekali secara fisik betang Toyoi mulai rapuh. Terlihat titik-titik betang yang digerogoti rayap. Penghuninya pun semakin sedikit. Rasanya dibutuhkan peran aktif warga Dayak, secara khusus, dan kita warga Indonesia, secara umum, untuk menjaga warisan budaya bangsa ini dari kepunahan.

Keterangan Foto: Tampak Depan Betang Toyoi, Tumbang Malahoi, Kalteng.
Sumber: http://aci.detik.travel

Read More......

PENGELOLAAN LAHAN Masyarakat Adat Dayak Ngaju Terabaikan


JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah merasa diabaikan dalam segala bentuk program pemerintah. Mulai dari zaman orde baru dengan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Satu Juta Hektar 1996 hingga saat ini dengan program pengurangan emisi melalui deforestasi dan pencegahan kerusakan lahan (REDD+).
Ini belum termasuk berbagai proyek investasi kelapa sawit dan pertambangan. Semuanya dinilai merampas hak masyarakat adat Dayak Ngaju sebagai pemilik tanah secara turun-temurun.

Ini diungkapkan beberapa perwakilan Masyarakat Adat Dayak Ngaju yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam temu dengan media, Senin (24/10/2011) di Jakarta.

Pekan lalu, mereka yang berasal dari 4 desa di kecamatan Mentagai Kabupaten kapuas Kalimantan Tengah, telah bertemu dan melayangkan keresahannya pada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Komisi IV DPR serta Badan Pertanahan Nasional.

Di situ, masyarakat menyampaikan kawasan bekas PPLG yang memiliki gambut sedalam 1-20 meter telah dikuasai oleh 23 perusahaan perkebunan sawit. Dari jumlah itu, 11 perusahaan dinyatakan tidak berizin seluas 380.000 hektar. Ini belum lagi proyek konservasi setempat yang dituding merampas hak dan akses masyarakat akan pemanfaatan hasil hutan.

"Kami mau tanah kami dikembalikan ke masyarakat," ucap Tanduk, tokoh masyarakat adat Dayak Ngaju. Nurhadi, anggota masyarakat Dayak Ngaju lainnya, mengatakan masyarakat desa tidak perlu diajari cara mengelola hutan. Mereka yang setiap hari tinggal di hutan, mengerti, jika hutan dijaga, maka kehidupan mereka pun terjamin.

Masyarakat Dayak Ngaju memiliki zonasi dalam hukum adatnya. Yaitu, hutan Pahewan yang merupakan kawasan keramat atau terkait ritual adat dan dilindungi. Hutan Sahepan, dipergunakan untuk masyarakat berburu dan beraktivitas mencari kulit kayu, lateks, dan obat-obatan. Hutan Kaleka untuk perladangan/perkebunan.

Ichwan Susanto | Robert Adhi Ksp | Senin, 24 Oktober 2011 | 14:01 WIB

Keterangan foto: Masyarakat Dayak mulai menanam padi ladang (nugal) di lahan yang baru saja selesai dibuka dengan cara membakar. Mereka masih mempraktekkan sistem perladangan berpindah, dalam satu siklus, mereka akan kembali ke lahan yang pernah mereka tanami 6-7 tahun sebelumnya (KOMPAS/AGUSTINUS HANDOKO).

Sumber: http://regional.kompas.com
Sumber foto: http://assets.kompas.com

Read More......

Dayak yang Belajar dari Kehidupan


Bagi orang Dayak, warna tidak sekedar memberikan nuansa variatif. Warna babilem, baputi, bahijau, bahenda dan bahandang merupakan hasil penjelajahan melewati limit alam akali.
Babilem (hitam), memberi kekuatan bersembunyi di kegelapan. Dalam bahasa Dayak Ngaju disebut “salatutup”. Ketika ada orang mati, agar bayi tidak terlihat oleh roh-roh jahat dan atau melihat roh-roh jahat, diambillah “sale pahe” (jelaga) untuk dioleskan pada alis bayi. Konon dilakukan pada waktu sore hari menjelang malam, yaitu saat diyakini bahwa roh-roh jahat sedang keluar menghampiri orang mati dan akan membuat “sawan” (ketakutan) pada bayi. Ada yang mengatakan bahwa “salatutup” bagi orang Dayak, terobsesi dari kebiasaan burung “Taktahau” bersarang di tanah dan tidak pernah terusik adanya ular. Burung “Taktahau” bersuara pada sore hari (ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat) dijadikan pertanda datangnya malam. Burung tersebut terbang seliweran di atas danau dan sungai di Kalimantan Tengah dan dapat dilihat ketika naik perahu pulang dari ladang.

Baputi (putih); tidak saja bermakna kesucian tetapi juga bermakna ketulusan. Di dalam acara “membuyu” (laki-laki ditinggal mati oleh istrinya) atau “mambalu” (perempuan ditinggal mati oleh suaminya) dikenakan lawung atau tudung kepala berwarna putih. Masing-masing dengan tulus melepaskan yang pergi dan meski “buyu” (duda) atau “balu” (janda), tetap hidup dalam kesucian. Warna putih diambil dari warna “ketuk” (kapur sirih) - terbuat dari tulang atau kerang yang dibakar. Ketuk (kapur sirih) digunakan “melampinak” (menandai) “cacak burung” (white cross) pada daun sawang (lumpiang) yang digunakan pada ritual tertentu. Pada saat memasak ketan, “cacak burung” (white cross) ditandai di panci, menandakan makanan bersih dan untuk manusia (menghindari “puji liau”).

Bahijau (hijau), daun tumbuhan hidup. Ada kehidupan. Ketika ada orang sakit, tak jarang di bawah tubuh yang terbaring sakit, ditemukan “dawen kayu belum” (daun kayu hidup atau daun segar) yang digunakan untuk mengelabui roh-roh jahat yang berniat mengganggu si sakit atau mengganggu orang yang sedang membawa jenazah.

Bahenda (kuning), kemuliaan dalam suasana batin orang yang rendah hati. Bersumber dari “henda” (kunyit). Membedakan mahluk manusia dengan mahluk gaib ketika berlangsung ritual tertentu, bahwa manusia merupakan mahluk berkedudukan tinggi di antara mahluk lain ciptaan Tuhan, tumit dioles dengan air kunyit.

Bahandang (merah), keteguhan sebuah prinsip. Ketika berperang menggunakan ikat kepala warna merah, Isen Mulang, bersumber dari warna merah “bua jarenang” memberi inspirasi patriotisme, diadopsi menjadi mamut, menteng, ureh demi kecintaan kepada hidup.

Ada pendapat mengatakan bahwa jati diri atau identitas adalah suatu ciri diri sebagai manusia, baik dilihat secara individual atau pun kolektif. Agresi kebudayaan terhadap Dayak terus berlanjut dan jika Dayak tidak membangun ketahanan budaya akan kehilangan jati diri (Tempun Petak Manana Sare). – Terbilang sebagian besar menguasai tanah berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan hanya sebagian kecil memiliki tanah berdasarkan sertifikat.

Membangun ketahanan budaya tidaklah sulit selama hubungan kekuasaan politik dengan penggiat kebudayaan di lapangan tidak terputus. Di sisi lain, kendala membangun ketahanan budaya disebabkan terputusnya rantai kehidupan di masa lalu.

Hubungan antara kekuasaan politik dengan penggiat kebudayaan di lapangan akan dikatakan hidup ditandai dengan antara lain adanya dialog. Tidak kaget berhadapan dengan berbagai pendapat silang siur yang muncul ketika dialog berlangsung. Tidak semua pendapat dan usul yang terkadang sulit dicari dasar logikanya dan terkadang mengundang debat, disepelekan. Sikap menyepelekan bisa menggagalkan upaya menstrukturisasi ide dan gagasan. Sikap menyepelekan bisa mengecilkan nyala api politik kebudayaan. Jangan menjadi orang Dayak menyepelekan debat karena menganggap debat “dia tau jadi behas”.

Berdebat dengan senantiasa berpijak di atas kerangka berpikir yang sehat (logis). Alasan (justifikasi) harus dilengkapi dukungan aspek hukum dan data yang akurat serta diuraikan secara ringkas, padat, spesifik dan terukur. Mencerminkan kebijakan, manfaat dan dampak serta merupakan implementasi dari pelaksanaan kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh mereka yang kita pilih menjadi pemimpin kita. Jangan mengkritisi lebih disebabkan untuk melampiaskan sakit hati. Tampakkan pada dunia bahwa Dayak pintar harati-kapintar maukir petak mangarawang langit. Orang Dayak menghindari ada dendam dan jika ada dendam di antara mereka, segera dilakukan upacara ritual manetes hinting bunu (memutuskan dendam).

Belajar dari kehidupan telah dilakukan oleh Dayak yang menghuni pulau Kalimantan, turun temurun. Dayak menempatkan kehidupan pada posisi penting. Orang Dayak dahulu dikenal memiliki nilai-nilai religiusitas yang tinggi. Mereka percaya pohon, batu, air dan segala yang ada di hutan memiliki kekuatan. Tidak salah bila World Wildlife Fund (WWF) melaporkan bahwa di Kalimantan terdapat 10 spesies primate, 350 spesies burung, 150 spesies reptil dan amfibi serta lebih dari 10 ribu spesies tanaman yang tidak ada ditemukan di tempat lain. Jika tidak percaya laporan tersebut, silahkan menjelajah hutan Kalimantan melalui kegiatan special interest tourism. Pandangan bahwa untuk hidup harus bersumber dengan segala sesuatu yang hidup dan atau memberi kekuatan hidup, selanjutnya menjadi perilaku orang Dayak sekaligus merupakan hasil belajar dari kehidupan.

Dalam konteks kegiatan melestarikan lingkungan hidup, dapat dikatakan bahwa orang Dayak cinta lingkungan hidup dan mengedepankan kebijaksanaan dan kearifan di dalam mengelola hutan dan lahan pekarangan. Kecintaan orang Dayak pada lingkungan hidup antara lain ketika mengambil akar kayu untuk obat, dilakukan ritual yang menjadi semacam ciri diri Dayak.

Adakah demikian kecintaan mereka pada hidup hingga sekarang ini?

Keterangan foto: warna-warna pada ukiran Dayak Kaltim
Oleh: KARDINAL TARUNG (Penulis Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng)
Sumber: http://media.hariantabengan.com
Sumber foto: http://3.bp.blogspot.com

Read More......

Kearifan Local Dayak Ot Danum


Dari ratusan suku Dayak di Kalimantan, salah satunya adalah Dayak Ot Danum di Kalimantan Tengah. Masyarakat adat Dayak dekat dengan alam dan sangat menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sekitarnya.
Menghadapi musim kemarau berkepanjangan tahun ini Dayak Ot Danum melakukan ritual meminta hujan. Berikut salinan berita yang muat di Koran Kalteng Pos tertanggal 3-5 September 2011, halaman 1 dan 4.
“Melihat Ritual Meminta Hujan Suku Dayak Ot Danum Kalimantan Tengah. 1,5 Jam Tak Boleh Bicara”
Sudah tiga minggu terakhir ini, masyarakat Kalteng harus berjibaku dengan asap yang berdampak buruk bagi kesehatan. Kabut asap berasal dari hutan, lahan dan pekarangan yang dibakar orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Banyak pihak yang memberi perhatian khusus terhadap musim kemarau ini. Salah satunya kerukunan warga Dayak Ot Danum Kalteng. Mereka melakukan ritual meminta hujan.
Waktu masih menunjukan pukul 06.55 WIB. Dengan mengambil start dari rumah jabatan Ketua Kerukunan Ot Danum Dr. Siun Jarias di jalan M.H. Thamrin Palangka Raya, seluruh peserta ritual siap berangkat menuju tempat yang ditentukan, yakni di tempat sungai Kahayan di wilayah Kelurahan Pahandut Seberang.
Hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit melewati jembatan Kahayan, kami sampai di lokasi. Dengan di pimpin seorang Basir (pemimpin upacara, Red), seluruh peserta ritual meminta hujan yang terdiri atas sembilan orang melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai Kahayan dengan kelotok (kapal kecil bermotor,Red) dan sisanya menunggu upacara selesai.
Nyaluh Ondou. Demikian masyarakat Dayak Ot Danum memberi nama ritual dimulai dengan mengambil air dan pasir dari tepi sungai Kahayan yang dilakukan oleh Basir diiringi dengan mengucapkan beberapa kalimat doa. Setelah itu, kami melanjutkan lokasi ritual yang posisinya agak masuk ke dalam hutan, sekitar 500 meter dari tepi sungai.
Sejak awal, kami sudah diingatkan untuk tidak berbicara sama sekali, bahkan berbisik-bisik sekalipun. Menurut penuturan salah satu peserta, saat dilakukan ritual, akan banyak mahluk gaib yang akan berkumpul dan berdoa Kepada Sang Pencipta dan memakan roh dari seluruh persembahan.
“Takutnya, nanti salah-salah bicara dan ada yang tidak berkenan sehingga mengganggu upacara”, tutur salah satu peserta sambil berbisik. Lokasi prosesi meminta hujan tersebut tampak rimbun oleh tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon rendah. Basir lalu memulai aktivitasnya dengan mencari beberapa kayu pohon untuk dijadikan tempat meletakkan persembahan yang terbuat dari tempat menganyah beras (tampah, Red) yang bertingkat dua.
Selanjutnya, basir meletakan satu persatu persembahan yang dibawa, mulai dari empat buah garam balok di bagian bawah dan lima gundukan pasir di sela-sela balok garam tersebut. Gundukan pasir dibuat mengerucut. Tak lupa pula diletakkan beberapa uang koin dan telur masak di sekitarnya.
Salah satu peserta kemudian mengeluarkan bambu yang di dalamnya sudah berisi beras dan ketan. Bagian atasnya diletakkan telur dan lima batang rokok ditaruh menggelilingi telur. Tiga daun raja diambil sebagai alas ayam rebus yang diletakkan di bagian atas tempat persembahan. Di sekitarnya ditaruh empat butir telur yang dikelilingi tiga balok garam dan empat batang rokok. Sekitar 30-an kue yang yang terdiri dari kue apam, cucur, kue cicin, dan kue pare-pere melengkapinya.
Selanjutnya, oleh sang Basir, tiga gundukan pasir diletakkan di sekitar sesajen tersebut yang juga dibuat meninggi seperti gunung dengan meneteskan pasir yang bercampur air. Kami satu persatu secara bergantian meletakkan dan membuat gundukan pasir di tampah bagian atas.
Setelah sekitar satu setengah jam kami tidak berbicara, basir selesai membaca doa dan permintaan. Kami kembali ke tepi sungai dengan cara berlari sesuai dengan arahan basir. Sesampainya di tepi sungai, basir melepaskan seekor ayam jago yang harus kami tangkap. Akhirnya salah satu dari kami berhasil menangkap ayam jago tersebut. Kami lalu kembali menyeberang sungai dengan mengunakan kelotok dengan posisi menghadap ke depan.
“Memangil Tiga Malaikat Penguasa Hujan”
Sebelum dilaksanakan ritual utama pada Senin (29/8) pagi, Basir (pemimpin upacara,Red) dan sejumlah anggota kerukunan suku Dayak Ot Danom, sebenarnya telah melakukan ritual permulaan. Di antaranya pengecekan Sangkarayan Nyalu (Lokasi Upacara,Red), serta penaburan beras kuning dan merah, sebagai penyampaian pesan awal permintaan hujan.
Sore, sekitar pukul 17.06 WIB, sehari sebelum ritual utama Nyaluh Ondou di tepi sungai Kahayan. Basir Damek yang memiliki kemampuan titipan orang tua (leluhur) untuk meminta hujan kepada sang pencipta telah melakukan beberapa ritual pembuka. Ia bersama dua orang warga Ot Danum, Bardi dan Suryadi melakukan ritual pembuka, yakni penaburan beras merah dan kuning. Hal ini dilakukan sebagai pemberian pesan awal kepada sang pencipta dan ketiga Rajan (malaikat;red) penguasa hujan, bahwa mereka hendak meminta hujan diturunkan di Palangka Raya, dalam rangka memadamkan kebakaran hutan, lahan dan pekarangan yang menyebabkan kabut asap di Kalteng.
“Pesan awal kita pada sore ini, diterima dengan baik oleh sang pencipta dan ketiga rajan. Terbukti degan mulai diturunkannya hujan di Palangka Raya, meski tidak terlalu lebat. Namun, cukup sebagai tanda diterimanya keinginan kita untuk meminta hujan,” tutur Damek kepada Kalteng Pos, Sabtu (3/9) siang.
Ketiga rajan/ malaikat bersaudara tersebut, dituturkannya, adalah Raja Gamala Raja Tenggara (penguasa kilat), Raja Janjulung Tatu Riwut (penguasa angin) dan Raja Sangkaria Anak Nyaru (Penguasa Petir). Ketiganya merupakan penguasa hujan yang hendak diminta bantuan untuk menurunkan hujan di Kalteng.
“Mereka tersebut sebenarnya tujuh bersaudara. Namun, yang kita minta hadir pada saat ritual minta hujan, hanya tiga di antaranya yang menguasai hujan,” tuturnya. Bermacam sesembahan memang merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut, diantaranya beras ketan, telur, rokok, uang logam, 40 jenis kue yang berbeda bentuk, garam balok, ayam masak, dan beberapa sesajian (persembahan;red) lainnya. “Semua persembahan itu diberikan kepada ketiga saudara penguasa hujan yang di Kalteng tersebut. Sedangkan gundukan pasir yang ada, merupakan tempat duduk bagi para malaikat tersebut, saat ritual Nyaluh Ondou berlangsung,” tuturnya.
Sementara itu, ayam yang sempat diperebutkan usai ritual utama, malam harinya sudah mati dengan sendirinya. “Sebenarnya ayam itu merupakan Sepak Tiak (peliharaan sang malaikat) yang diberikan oleh warga Ot Danum Kalteng. Dan sudah dijemput pada malam harinya. Namun, sempat berkokok 12 kali sebelum ayam tersebut mati,” tutur Bardie yang mendapatkan ayam tersebut.
Menakjubkan, malam hari setelah dilaksanakan ritual meminta hujan tersebut (29/8), permohonan dari warga Ot Danum kepada sang pencipta dengan melaksanakan ritual Nyaluh Ondou terkabulkan. Hujan mulai turun di Kabupaten Kapuas dan Gumas Mas dengan lebatnya. Kemudian besok harinya Selasa (30/8) disusul hujan lebat yang terjadi di Palangka Raya, dan sejumlah kota-kota lainnya, hingga sekarang.
“Hujan Pun Turun Dengan Lebatnya”
Secara umum tradisi suku Dayak di Kalteng yang berupa upacara ritual dibagi menjadi menjadi dua bagian yakni ritual kehidupan dan kematian. Nyalu Ondou (ritual meminta hujan suku Dayak Ot Danum kepada Sang Pencipta melalui bantuan tiga rajan/ malaikat penguasa hujan) merupakan bagian dari ritus kehidupan.
Kalteng merupakan daerah yang memiliki beraneka ragam tradisi yang berasal dari budaya suku Dayak. Suku Dayak sendiri berbagi menjadi subsuku seperti Ot Danum, Ma’ayan, Lawangan, Siang, Taboyan, dan subsuku lain yang memiliki keunikan tradisi tersendiri.
Nyaluh Ondou yang dilakukan suku Dayak Ot Danum hanya sebagian kecil dari banyaknya ritual dan upacara adat yang dilakukan suku-suku Dayak di Kalteng masih banyak upacara ritual yang ada di Bumi Tambun Bungai ini. Secara Umum dikenal lima upacara yang bersifat besar dan melibatkan banyak orang serta dana yang tidak sedikit.
Lima upacara ritual besar tersebut di antaranya adalah upacara Tiwah yang merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalteng, khususnya Dayak di pedalaman penganut agama Hindu Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Kemudian ada upacara Pakanan Sahur Lewu yang berarti memberikan sesajen kepada para leluhur atau para dewa yang melindungi warga desa/ kampung sebagai tanda terima kasih atas berkat dunia.
Selanjutnya, Kalteng juga memiliki upacara Ritual Nahunan, yakni upacara memandikan bayi secara ritual menurut kebiasaan suku Dayak Kalteng. Tujuan uamanya adalah pemberian nama sekaligus pembabtisan menurut Hindu Kaharingan kepada anak yang baru lahir. Selain itu, ada upacara Manyanggar yang diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan mahkluk gaib yang tidak terlihat secara kasat mata.
Terakhir adalah upacara ritual Pakahan Batu, yakni ritual tradisional yang digelar setelah panen ladang atau sawah. Upacara Pakanan Batu ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada peralatan yang dipakai saat bercocok tanam sejak membersihkan lahan hingga menuai hasil panen.
“Selain mengatasi masalah kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan yang terjadi di Kalteng, tujuan kita melaksanakan ritual tersebut untuk mempertahankan budaya Dayak Ot Danum yang dimiliki nenek moyang warga Ot Danum dari 60 subsuku warga Ot Danum di seluruh Indonesia,” terang Ketua Kerukunan warga Ot Danum Kalteng, Dr. Siun Jarias kepada Kalteng Pos, Sabtu (3/9) siang.
Nyalu Ondou, lanjutnya pria yang merupakan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalteng tersebut, hanya merupakan salah satu upaya pihaknya untuk menjaga tanah kelahirannya dari kehancuran. Patut disyukuri, usai dilakukan upacara ritual pembuka dan utama, Senin (29/8) pagi, hujan pun turun dengan lebat disejumlah kabupaten/ kota di Kalteng.
“Kami berharap, hujan yang diturunkan Sang Pencipta ini bisa memadamkan kebakaran hutan dan lahan serta menghentikan kabut asap di Bumi Tambun Bungai ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum Kerukunan Warga Ot Danum Kalteng, Guntur Talajan, SH M.Pd menyampaikan, ritual meminta hujan Ot Danum tersebut merupakan bentuk kearifan local yang wajib dilestarikan. “Sudah sewajarnya orang tua memiliki kewajiban untuk untuk memberi pembelajaran kepada anak-anak dan generasi penerusnya. Talenta dan apa yang dimiliki, jangan didiamkan saja, wariskanlah kepada anak cucu kita sehingga lestari budaya kita, tidak hilang,” ungkapnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kalteng tersebut menuturkan, sebenarnya masih banyak lagi kearifan local yang dapat diterapkan dalam kehidupan ini, diantaranya adalah upacara Mengayau Danum. Upacara tersebut biasanya dilakukan saat banyak orang yang mati tengelam di air atau sungai sehingga dibalas air itu dengan mengayaunya dengan harapan tidak ada orang yang mati tengelam lagi.
“Upacara ini pernah kita lakukan di Desa Mungku Baru, Rakumpit, waktu zaman Pak Tuah Pahoe karena ada beberapa kejadian warga meninggal karena tengelam. Akhirnya sampai sekarang tidak ada yang meninggalkan lagi karena tengelam. Jadi, mari kita sama-sama kita pertahankan budaya dan kearifan local yang kita miliki ini,”.

Keterangan foto: Basir, melakukan pengambilan air dan pasir dari tepi Sungai Kahayan sebagai salah satu syarat utama sesembahan ritual meminta hujan Dayak Ot Danum.

Read More......

Acara Adat Sambut Menhut dan Dubes Australia

Tribunkalteng.Com, Palangkaraya - Seperti Dijadwalkan, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Dubes Australia untuk Indonesia Greg Moniarty, Kamis (15/9/2011) pagi, menginjakkan kakinya di bumi Tambun Bungai Palangkaraya. Namun sebelum melanjutkan sejumlah acara, kedua pejabat negara itu disambut acara adat.

Dipandu seorang damang, beberapa acara adat khas Kalimantan Tengah yang dilalui Zulkifli dan Greg adalah pemecahan telur, potong pantan, serta minum air Kahayan.

"Saya senang bisa datang ke sini dan berharap bisa memperkuat hubungan kerja sama Indonesia-Australia," ujar Greg.

Pernyataan Greg berbahasa Indonesia dengan fasih dan lancar sempat membuat mereka yang menyambut rombongan tamu, geli. Karena sejak awal kedatangan, petugas selalu menerjemahkan ucapan pelaksana dalam terjemahan bahasa Inggris.

Kunjungan menhut dan Dubes Australia ke Kalteng dilakukan dalam rangka meninjau pelaksanaan kerja sama kehutanan bidang perubahan iklim. Dalam agendanya, menteri meninjau lokasi pembibitan di Mangkutub dan berdialog tentang program Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) yang dilaksanakan sejak 2010 di tujuh desa dalam wilayah Kecamatan Mantangan dan Timpah, Kabupaten Kapuas.

mustain khaitami/tribunkalteng)

Penulis : Mustain Khaitami
Editor : didik_trio
Sumber: http://kalteng.tribunnews.com

Read More......

TAK RELEVAN, RUMAH DAYAK MAKIN BERKURANG


PALANGKARAYA, KOMPAS.com — Jumlah betang atau rumah khas suku Dayak yang menjadi hunian bersama di Kalimantan Tengah terus berkurang drastis. Banyaknya penghuni betang yang keluar kemudian membangun rumah sendiri menjadi penyebab susutnya jumlah betang.
Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalteng, Sabran Achmad, di Palangkaraya, menuturkan, daerah-daerah yang dulu memiliki betang, misalnya Desa Bahaur, Kecamatan Kahayan Kuala dan Desa Pangkoh, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, serta Kuala Kurun, ibu kota Kabupaten Gunung Mas.

Pada tahun 1957, saat Kalteng baru terbentuk menjadi provinsi, jumlah rumah betang ditaksir sudah tak lebih dari 100 unit. Padahal, pada abad ke-17, jumlah betang di Kalteng masih ribuan unit. Setelah itu, pembangunan Kalteng digencarkan, termasuk pengadaan jalan-jalan ke berbagai pelosok provinsi.

Kondisi itu membuat penduduk lebih mudah menyebar, termasuk keluar dari betang. Kini, berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng, jumlah betang di Kalteng sudah berkurang menjadi hanya 42 unit.

Akses jalan semakin baik juga memicu masuknya pendatang yang tak mengenal budaya hidup bersama dalam satu rumah sehingga memberikan pengaruh kepada masyarakat Dayak.

Betang yang masih ada antara lain bisa ditemukan di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, serta Desa Tumbang Malahui, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas. "Dulu, betang bisa dihuni 60 keluarga. Kini, jumlah penghuni betang paling banyak 10 keluarga," katanya, Selasa (5/4/2011) lalu.

Rumah yang ditinggalkan lambat laun tak terurus hingga akhirnya hilang. Menurut Sabran, rumah betang memang tak relevan lagi dengan kehidupan saat ini. "Ketinggian lantai betang dari tanah bisa mencapai 4 meter. Anak-anak misalnya, bisa jatuh dan terluka," katanya.

Selain itu, ketinggian untuk menghindari serangan satwa liar serta musuh dari suku lain sekarang sudah tak perlu dirisaukan lagi. "Tak bisa dihindari jika banyak betang menghilang. Akan tetapi, perlu diingat dalam kehidupan di betang sebenarnya terdapat falsafah hidup," tutur Sabran.

Falsafah itu yakni kerukunan, kesetaraan, kejujuran, dan kebersamaan. Nilai-nilai itu yang harus dilanjutkan masyarakat Dayak dalam kehidupan saat ini. "Saya lihat, nilai-nilai itu masih dianut kuat meski masyarakat tak lagi tinggal di betang," katanya.

Kepala Bidang Sejarah Purbakala Disbudpar Kalteng Bambang Daryadie mengatakan, setiap betang yang termasuk bangunan cagar budaya memiliki juru pelihara yang merawat rumah itu. Jika betang sudah mulai rusak, juru pelihara bisa mengajukan proposal.

"Supaya betang bisa diperbaiki, proposal bisa diajukan ke Disbudpar kabupaten/kota atau provinsi. Jalan rusak di sekitar betang juga bisa diusulkan untuk diperbaiki," katanya.

Bahkan, menurut Edy, Gubernur Kalteng Teras Narang mendorong agar juru pelihara tak sungkan mengajukan permintaan perbaikan betang.

Ketua Presidium Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalteng M Usop mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bangunan betang yang sudah berusia lebih dari 50 tahun seharusnya dirawat dengan biaya dari pemerintah.

"Juru pelihara betang juga seharusnya dibina sehingga mereka tahu cara untuk menarik wisatawan datang lewat pameran, upacara adat, atau mengadakan tari-tarian," katanya.

Sumber: http://regional.kompas.com
Sumber foto: http://stat.k.kidsklik.com

Read More......

SANG PENJAGA HUTAN

KBR68H - Siapa sangka hutan adat yang begitu lebat di Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat justru dilestarikan oleh bekas pembabat hutan. Mayoritas warga desa yang dulunya penebang liar, kini bahu membahu mempertahankan kelestarian hutan. Ancaman kini datang dari pemodal dan perkebunan sawit. Kontributor KBR68H Heriyanto menemui Damianus Nadu, bekas pembalak yang menggagas status Hutan Adat seluas 200 hektar dan memimpin perlawanan terhadap pembalakan liar.

Damianus Sang Penjaga Hutan

Bekas pembalak
Damianus Nadu berjalan cepat masuk ke dalam hutan. Sesekali dia menebaskan parangnya, membuka jalan agar mudah dilalui. Dedaunan masih basah oleh hujan semalam. Sepanjang perjalanan, suara burung terdengar bersahutan. Hutan ini sangat lebat. Ada banyak pohon-pohon besar menjulang tinggi. Butuh sedikitnya lima orang untuk memeluk batang pohon di sini.

Hutan inilah yang dijaga oleh Damianus Nadu, 47 tahun, tokoh masyarakat Dusun Melayang, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Damianus adalah bekas pembalak liar yang berinisiatif mempertahankan hutan adat seluas 200 hektar itu. “Saya berusaha mempertahankan hutan itu demi anak cucu nanti. Sehingga kalau dilihat daerah-daerah sekitar hutan, sudah tidak ada lagi oleh perusahaan kayu. Saya khawatir dan kasihan sekali melihat anak cucu nanti. Kalau mereka mengenal jenis-jenis tanaman seperti bengkirai, kapur dan lain sebagainya, mereka hanya mengenal nama saja.”

Siapa sangka, dulu Damianus adalah penebang kayu paling handal, menjadikan aktivitas ini sebagai pemasukan utamanya. Namun ia mengaku tak tenang. Merasa bersalah lantaran nenek moyangnya dulu menjaga hutan, tapi ia justru menebanginya. “Dua hari itu saya bisa mencetak 2 truk,” kata Damianus. Tapi begitu ia berpikir bahwa hutan semakin habis, ia mulai sadar. Sejak awal 2000-an, aktivitas ini mulai dikurangi. “Kalau kita cerita tentang manusia ya, kalau pohon ditebang itu kan pohon nangis. Jadi ada rasa kasihan.”

Kesadaran ini semakin tebal seiring Damianus melihat luas hutan terus berkurang. Baik oleh pembalak liar seperti dirinya, atau oleh perusahaan legal. Hutan di desanya kini nyaris tak tersisa, hancur sekitar 80 persennya. Yang tersisa hanya hutan di sisi timur desa. Damianus khawatir hutan itu bakal ikut punah. Karenanya, hutan itu lantas ditetapkan sebagai hutan adat.

Hutan Pengajit

Hutan adat ini diberi nama Pengajit, dikukuhkan pada 2002 silam oleh Bupati Bengkayang saat itu, Yacobus Luna. Penetapan itu atas ausul Damianus yang merasa perlu ada aturan bersama demi mempertahankan hutan adat yang terancam pembalakan liar. Kepala adat Dusun Melayang, Evodius Andong adalah orang yang mendukung upaya ini. “Pak Nadu punya inisiatif. Bagaimana jalan keluar supaya kita lebih kuat mempertahankan hutan. Maka ini dijadikan sebagai hutan adat.”

Demi menjaga hutan, setiap hari Damianus Nadu keliling hutan memastikan tak ada yang mencuri kayu di sana. Tugas ini juga dibebankan pada warga lain, terutama para pemuda. Bila ada orang yang mencuri kayu warga tak segan menangkapnya. Warga memang dilarang tebang kayu tanpa izin. “Boleh dipakai dan dipergunakan penduduk setempat, dengan catatan dia pergunakan yang sudah tumbang atau yang sudah mati. Saya tidak akan pernah izinkan menebang sesuka hatinya.”

Kalau tertangkap basah mencuri atau menebang pohon tanpa izin, siap-siap saja kena denda adat. Si pencuri harus membayar 3 kali lipat harga kayu yang ditebang. Kayu disita, sementara uang hasil denda itu akan disimpan di kas kampung, digunakan untuk menjaga hutan. “Misalnya kalau mereka menebang kayu tanpa lapor, maka bisa kita hukum. Apalagi kalau dia menjualnya lagi ke luar Bengkayang, berarti itu sudah ada kaitan dengan bisnis, sehingga kita hukum.”

Aturan ini terus ditegakkan, meski tak mudah melakukannya di masa-masa awal. Banyak warga merasa dirugikan karena tak boleh lagi tebang pohon. Menurut Ateh, pemuda desa setempat, tak mudah mengubah pandangan ini. Namun aturan terus ditegakkan dan diperkenalkan lewat berbagai pertemuan desa. “Kalau kita habiskan hutan itu, apalah yang kita lihat? Sekarang kita bisa lihat pohon-pohon besar. Kalau itu dibabat, mungkin hanya cerita atau dongeng yang kita dapatkan.”

Kehadiran sungai-sungai ke arah desa seolah jadi pengingat warga. Karena Hutan Adat Pengajitlah, sumber air tetap terjaga. Lebatnya hutan juga menghalau angin kencang dan banjir. “Keberadaan hutan itu bukan hanya untuk manusia saja, tapi juga sebagai sumber air, menahan erosi. Angin pun terpental di situ karena hutan masih lebat.”

Sumber air warga desa

Ancaman untuk hutan adat

Desa Sahan terletak di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Mayoritas penghuninya adalah Suku Dayak Bekatik. Sisanya pendatang, terutama para transmigran Jawa. Hutan Adat Pengajit berada 3 kilometer di sebelah timur desa.

Hutan ini menyediakan bibit beraneka ragam jenis pepohonan, seperti kayu Ulin, Gaharu, atau Masang. Karenanya hutan sering jadi sasaran penelitian berbagai industri, terutama kalangan akademisi, kata Ateh. Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat ikut meneliti bibit tanaman dari Hutan Ada Penganjit.

Ancaman pertama justru datang dari warga. Tak mudah meyakinkan warga untuk tak lagi menebang pohon sesuka hati. Damianus Nadu, bekas pembalak yang mengggas hutan adat ini, kadang harus berhadapan dengan warga yang bandel. “Kita kadang dibenci karena kita bertindak keras, berperilaku keras. Orang yang tidak senang kepada kita kadang dendam dan sebagainya. Itu kan bagian daripada rintangan dan tantangan,” kata Nadu

Pengusaha kayu mulai mengincar kayu-kayu bernilai tinggi dari Hutan Adat Pengajit. Kata Damianus, ia pernah ditawari 5 miliar rupiah oleh pengusaha untuk menyerahkan hutan adat seluas 200 hektar ini. Namun Damianus menolak. “Karena kalau takut sedikit saja, sudah habis kita. Karena kita ini orangnya sendiri kan? Sementara yang kita hadapi itu kan masyarakat yang beragam dan bermacam alasan dan kepentingan. Makanya harus berani dan tegas.”

Pada tahun 1980-2000, pembalakan liar marak terjadi di Kalimantan Barat, termasuk di Kabupaten Bengkayang. Orang dengan mudah menebang kayu karena tidak tegasnya aturan hukum. Kayu-kayu hasil pembalakan liar banyak yang diselundupkan ke Malaysia, cerita Damianus Nadu.

Ancaman lain adalah ekspansi kebun kelapa sawit. Survei WALHI Kalimantan Barat menunjukkan kalau lingkar luar desa sudah mulai dimasuki kebun sawit. Aktivis WALHI Sumantri menemukan bukti perambahan di Hutan Ada Pengajit di batas hutan di sebelah timur. “Setelah diukur dengan GPS, kerusakan tersebut mencapai 2000 meter persegi.”
Sejak tahun lalu, warga menghadang masuknya perusahaan kebun sawit, tak rela hutan adat dan wilayah desa mereka dirampas. Alat berat untuk mengerjakan lahan dilarang masuk ke kawasan desa. Hendra Laban, seorang pemuda setempat, termasuk satu diantara warga yang menolak. “Kami tidak mau tanah kami digusur tanpa sepengetahuan kami. 100 persen tidak mau terima.”

Warga sampai harus berdemo karena perusahaan sudah membersihkan lahan dengan alat-alat berat. “Akhirnya terjadi penembakan. Penembakan itu ada yang ke atas, beri peringatan. Tapi semua masyarakat membawa senjata api semua, termasuk mandau.”
Sejak itu, tak ada lagi pengusaha kebun sawit yang berani mendekati Hutan Adat Pengajit.

Warga menjaga hutan untuk kepentingan mereka sendiri. Sampai saat ini tak sepeser pun bantuan diterima dari pemerintah setempat. Misalnya, untuk kesediaan warga menjadi penjaga hutan. Kepala Adat Evodius Andong mengatakan, usul itu pernah diajukan ke Pemda, tapi lenyap begitu saja. “Kami dulu punya ide begitu. Satu atau dua orang menjaga hutan Pengajit, mereka itu diberi honor untuk menjaga hutan dari si pencuri kayu dan sebagainya. Mereka bilang nanti bisa, tapi setelah kami tanya di sana, dananya belum ada....”

Hutan Adat Pengajit tak bisa lepas dari Damianus Nadu. Bekas pembalak yang jadi pelindung hutan.

Sumber berita dan foto: http://www.kbr68h.com

Read More......