PDT. Dr. MARKO MAHIN, S.Th: Mengubah Bahasa, Mengubah Etnis


Kondisi sekarang kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah semakin terhimpit oleh budaya-budaya “modern”. Hal ini menyebabkan banyak anak muda Dayak yang tidak tahu bahkan tidak pernah melihat lagi kebudayaan leluhurnya. Budaya Huma Betang yang bernafaskan kebersamaanpun semakin luntur, di warnai oleh kepentingan-kepentingan non Dayak.


Awal Mei lalu KR berkesempatan bertemu dan mewawancarai Pdt. Dr. Marko Mahin, S.Th saat berada di Palangka Raya. Antropolog muda Dayak ini dengan antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh KR, berikut petikannya:

Sikap anda terhadap nilai-nilai budaya Dayak yang semakin luntur?

Sebagai antropolog saya mau realistis melihat bahwa tidak ada budaya yang menetap dan selalu dalam keadaannya begitu-begitu saja dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun. Kebudayaan itu bergerak dinamis, cair, akan mengalami perubahan-perubahan. Bisa saja ada bagian yang hilang, berkembang, ada bagian yang beradaptasi dengan baik dan itu masih kita jumpai sekarang.
Ada juga yang tidak bisa beradaptasi dengan baik karena mengalami inovasi-inovasi dan perubahan-perubahan. Jadi masalah apakah dia semakin luntur atau tidak, itu tergantung cara kita melihat. Ada beberapa bagian budaya kita yang memang harus kita lunturkan dengan sengaja.
Misalnya budaya pinjam meminjam, kita meminjam, kalau ada pinjam, anda harus kembalikan. Anda bukan meminta dan barang itu bukan diberikan. Jadi memang ada budaya yang memang harus kita lunturkan dengan sengaja. Lalu kemudian budaya-budaya tertentu yang negatip ini harus dilunturkan dengan sengaja. Tapi yang positipnya harus dikembangkan. Nah ... perdebatan budaya yang luntur ini memang ada bagian yang harus kita angkat, ini semakin dipertegas.

Kondisi selama ini budaya Dayak Kalimantan Tengah, menurut anda lebih banyak diangkat atau dihilangkan?

Kita tidak bisa menghitung persentase kebudayaan itu ya, kalau kita berbicara kebudayaan itu kita berbicara gerak bukan berbicara kuantitatif yang persennya berapa. Jadi geraknya cukup dinamis.
Misalnya dulu orang Kalimantan tidak pernah terpikir territorial, mereka hanya berfikir berdasarkan alur sungai. Pembagian dunianya berdasarkan sungai, tapi ketika mereka bertemu dengan state, dengan Negara Indonesia mereka mulai berfikir, territorial kami ada di wilayah ini dan mulai berfikir provinsional. Itu berarti sungai tidak compatible dengan jaman, tetapi kita dengan cepat merubah itu. Makanya muncul Kalimantan Tengah, yang tidak mau berfikir menggunakan alur sungai lagi tetapi dengan cara territorial, saya pikir itu bagus.
Kalau dilihat yang luntur-lunturnya ada beberapa harus kita akui memprihatinkan. Bahasa misalnya, bahasa itu jelas indicator kelunturan, kalau kita tidak mau melihat tergerus. Ada banyak orang yang sudah malu berbahasa Dayak, tidak bisa berbahasa Dayak bahkan dengan terang-terangan mengajar anaknya di rumah bukan bahasa ibu. Saya senang kalau berbahasa Inggris atau bahasa Indonesia, tapi jangan bahasa daerah juga, masa memiliki bahasa daerah sendiri lebih bangga memakai bahasa daerah yang lain, itu yang mungkin jelas terlihat.

Selain bahasa apa, misalnya kesenian Dayak yang lain?

Kalau kita melihat secara kuantitatif selain bahasa ya ... agama. Jelas orang-orang Dayak dulu pada mulanya adalah Kaharingan semua. Karena invasi dari agama besar akhirnya hanya tinggal sekitar 200.012 orang yang Kaharingan dan akibatnya karena Kaharingan sebagai pandangan hidup tersisihkan itu berakibat langsung ke lingkungan hidup.

Ya... karena ajaran agama-agama semic, kemudian kedatangan laju pembangunan yang tidak terkontrol, kemudian kedatangan investor yang merajalela alam kita hancur. Padahal dulu sebelum ada itu, orang sangat bersahabat dengan alam dan merupakan bagian dari alam. Jadi konsep penaklukan dunia itu jelas sekali impactnya ke lingkungan hidup, alam ditaklukan, dikeruk, dimanfaatkan sehabis-sehabisnya. Sampai sekarang kan sisanya lingkungan kita yang rusak.

Penilaian anda terhadap tokoh-tokoh tua Dayak sekarang , apakah mereka turut mewariskan atau malah melunturkan budaya-budaya Dayak itu sendiri?, misalnya tadi orang tua malah mengajarkan bahasa ibu yang lain kepada anaknya?

Kita harus perjelas dulu mengenai orang tua ini dan orang tua yang secara posisi sosial (para tua-tua adat) adat yang sebagai orang tua biologis adalah victim atau korban dari proses dedayaktisasi yang berpuluh-puluh tahun.
Jadi dia merasa menjadi Dayak itu rendah, primitive, ketinggalan jaman, kampungan, udik. Lalu dalam rangka adaptasi dan pertahanan diri dia mencoba memakai bahasa yang lain, itu terjadi semenjak abad ke-14 ketika orang-orang Dayak mulai konversi ke Islam mereka wajib mengganti bahasa ibunya memakai bahasa Melayu, karena sebenarnya bukan mengganti etnis tapi mengganti bahasa. Tapi ketika anda mengganti bahasa otomatis mengganti etnis.

Pesan dan harapan anda untuk mewariskan budaya-budaya Dayak?

Saya tidak berbicara mengenai pewarisan-pewarisan, tapi lebih bagus saya menggunakan kata pengelolaan. Kalau saya mewariskan berarti ada satu benda yang bisa berupa Mandau, Guci, sehingga saya tidak mau dengan konsep museumnisasi yang melihat kebudayaan hanya sebagai artefak-artefak.

Tapi saya mau melihat budaya itu sebagai nilai, secara universal, mulia, luhur dalam kebudayaan Dayak itu harus kita kembangkan, kapan perlu itu harus kita sebarkan ke orang-orang lain. Kebudayaan ramah terhadap alam melihat Tuhan itu ada di sekitar dirinya itu penting.

Budaya Huma Betang

Pandangan anda terhadap budaya Huma Betang bagaimana?

Secara jujur saya tidak pernah tinggal lama di rumah betang, tapi saya pernah berkunjung dan diam di rumah betang sewaktu saya mengadakan penelitian. Misalnya di daerah Tumbang Malahoi, Kalimantan Tengah, di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur juga di Kalimantan Barat.
Bagi saya budaya betang yang paling baik itu adalah sebenarnya budaya komunal dan kebersamaannya. Jadi komunal itu adalah sehati, sepikir, sejiwa, sepenanggung, seperasaan, saling memperhatikan walapun ada sisi negatifnya juga, kita harus akui tidak semua betang itu positif.
Misalnya karena menerapkan budaya komunalisme, ada orang yang bermental parasit dan malas bekerja sehingga menggerogoti system itu, karena dia pikir walaupun tidak bekerja saya pasti mendapat bagian dari komunitas saya. Dalam istilah antropologi itu Tragedy of Command, kebersamaan-kebersamaan itu justru dipakai oleh sekelompok orang untuk menggerogoti system. Kalau sistemnya bisa berjalan, orang yang bermental parasit itu akan dipelihara.
Budaya betang juga menghalangi orang yang bermental kompetisi, karena di dalam konsep komunalisme itu tidak boleh ada yang lebih menonjol dalam ekonomi maupun pemikiran. Semuanya harus bulat dan rata, dalam bahasa dayak ngaju dikenal “paras kajang”. Walaupun kita punya kelebihan itu harus ditahan, jangan ditonjolkan, itu membuat orang Dayak yang punya kemampuan tidak terlalu diekspos, karena template kita berfikir kita begitu. Kalaupun punya kemampuan dan kapasitas, tahan dulu. Itu sisi negative budaya betang, dan kita harus berani mengkritisi, walaupun sisi positipnya kita menjunjung tinggi.
Saya juga menyukai budaya betang secara konsep, kita membangun konsep Negara mikro. Di dalamnya kita melihat ada kesejahteraan bersama dan kepemimpinan jelas oleh orang lokal, bukan oleh orang luar. Jadi sangat jelas demos rakyat setempat itu dihargai, Demos yang memimpin di situ bukanlah dropan-dropan orang luar, itu konsep Negara dalam tataran mikro dan itu penting untuk pemberdayaan. Yang perlu kita pikirkan jangan sampai rumah betang ini tenggelam dalam konsep state, Negara yang besar ini yang menghancurkan kita.

Langkah-langkah apa yang bisa kita ambil untuk mewariskan hal-hal positip itu?

Bagi saya yang perlu diwariskan adalah komunal yang dikenal dengan kebersamaan. Dalam bahasa sosial ini kan disebut modal sosial dan ini harus kita kembangkan. Efek barat yang paling buruk yaitu individualisme. Jadi hak-hak pribadi mesti dihargai, tapi kita di sini adalah komunalisme itu penting bagi gerakan sosial kita.
Bagi saya sekarang rumah betang itu imaginer, itu adalah rumah imagi orang-orang Dayak kita tinggal di rumah betang bersama Kalimantan Tengah, tapi masalahnya adalah spiritnya apa, kan kebersamaan. Kita tetap tinggal di rumah masing-masing tapi kita merasa bersama dengan yang lain itu yang harus disosialisasikan bahwa kita tinggal dalam satu rumah, kita harus menjaga, membersihkan, mengatur dengan baik dan tentu saja yang mengaturnya bukan orang lain.
Tidak boleh ada orang lain yang mengatur rumah tangga kita sendiri termasuk dengan tata undang-undangnya, kepemilikannya, agamanya tidak boleh orang lain mengatur kita harus mengikuti agama ini, agama itu.

Dalam hubungannya mewariskan budaya rumah betang , menurut anda apakah suhu politik di Kalteng mendukung untuk hal itu?

Di sini ada dua gerakan, pertama gerakan debetangnisasi, ada orang yang mau rumah betang itu utuh, tak mau dipilah-pilah menjadi kotak ini dan itu.
Kedua yang menarik lagi betang itu mau dibuat kabur konsepnya lalu akhirnya orang yang tadinya cuma tamu di rumah betang itu, dan ada di pelataran tiba-tiba dia bisa ada diruang utama dan memimpin rapat. Bagi saya konsep begitu bukan genuine Dayak dan menghianati konsep rumah rumah betang.

Dengan kata lain kita harus menghormati orang-orang lokal?

Saya 100% harus seperti itu, orang lokal bukan orang bodoh mereka tahu dan punya cara untuk mengatur negeri, rumah tangga, lingkungannya. Orang luar belum tentu tahu walaupun mungkin bisa, tetapi lebih baik orang setempat.

Tulisan ini juga dimuat di majalah Kalimantan Review (KR)
Sumber foto: www.ui.ac.id

Read More......

Syaer Sua, Hidupkan Huma Betang


”Cita-cita saya hanya satu. Jangan sampai adat budaya Dayak ditinggalkan. Saya lihat adat budaya kita makin tenggelam, lama-kelamaan nanti tinggal menjadi legenda.”


Kata-kata itu diucapkan Syaer Sua, seniman Dayak Ngaju, saat ditemui di tempat tinggalnya di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada Juni lalu. Impian melestarikan seni budaya itulah yang menggerakkan Syaer Sua membangun dua huma (rumah) betang tahun 2002-2008.

Untuk mewujudkannya,pria bernama lengkap Syaer Sua U Rangka ini mendirikan bangunan rumah panjang khas Dayak, Kalimantan Tengah, itu di Tumbang Manggu, kawasan hulu Sungai Katingan. Ia sengaja tak membangun huma di ibu kota provinsi itu, Palangkaraya, tempatnya menapaki masa remaja selepas lulus sekolah rakyat.

Tumbang Manggu adalah kampung asal orangtua Syaer. Dia sendiri lahir di Bukit Rawi, Kahayan Tengah, Kabupaten Katingan. Masa kecilnya dihabiskan di tempat itu sebelum pindah ke Palangkaraya.

Sebelum hidup dan bermukim di rumah-rumah tunggal, masyarakat Dayak Kalimantan mendiami huma betang. Rumah itu dihuni puluhan keluarga yang umumnya masih kerabat. Satu kampung biasanya memiliki satu huma betang.

Sampai kini hal itu masih dilakukan. Sebagian dari mereka tetap tinggal di rumah panjang. Namun, sebagian lainnya sudah meninggalkan huma betang. Mereka hanya berkumpul di rumah betang ketika ada upacara adat.

”Saya ingin mempertahankan budaya betang. Oleh karena itu, saya membangun ini (huma betang) meski biayanya tak terhitung,” katanya.

Syaer Sua tak goyah walau ada orang yang menilai pembangunan rumah betang itu pekerjaan ”pemimpi”, bahkan dianggap aneh. Ia tetap berusaha mewujudkannya.

Tahun 2002, ia mulai mencari pohon ulin atau belian (Eusideraoxylon zwageri) di hutan adat sebagai bahan baku utama. Rumah pertama itu kemudian diberi nama Betang Bintang Patendu.

Lantai Rumah yang selesai dibangun tahun 2003 itu memiliki ketinggian sekitar empat meter dengan fondasi sekitar 70 pohon ulin. Luas bangunan utama 171 meter persegi. Sedangkan bangunan kedua, yakni dapur dan ruang makan, luasnya 135 meter persegi.

Tahun 2005-2008 Syaer Sua membangun huma betang kedua bernama Balai Basara Bintang Semaya. Luas bangunan utama yang ditopang 80 pohon ulin sekitar 300 meter persegi dan bagian belakang 96 meter persegi.

”Pembuatannya lama. Selain menyesuaikan dana, bahan baku kayu ulin harus dicari ke dalam hutan selama dua-tiga bulan. Untung ada perusahaan perkayuan membantu pengangkutannya,” ujarnya.

Karungut dan RRI

Memiliki rumah betang, bagi Syaer Sua, tak sekadar wahana untuk menikmati hari tua. Tetapi, sebagai tempat pengembangan seni budaya Dayak di pedalaman Katingan. Oleh karena sebelumnya, tahun 1970-1980-an ia menekuni dan mengembangkan seni karungut di Palangkaraya.

Karungut merupakan seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai moral, adat, perjuangan, bahkan pesan semangat untuk membangun. Seni ini diiringi ketabung atau kecapi khas Dayak, kakanong, suling, dan gendang. Bersama seniman lain, Syaer Sua bermain karungut di Radio Republik Indonesia (RRI) Palangkaraya setiap Minggu malam.

Dari RRI, Syaer Sua kemudian dikenal sebagai salah satu pangarungut (seniman karungut) produkif. Ia tak hanya pandai melantunkan, tetapi juga mencipta ratusan judul karungut yang sifatnya spontan maupun tertulis.

”Saya lupa berapa banyak yang saya cipta, semua master rekamannya ada di RRI Palangkaraya,” katanya.

Syaer Sua juga populer. Pengemarnya tak hanya dari Palangkaraya, tetapi juga masyarakat di beberapa daerah pedalaman di Kalteng yang terjangkau siaran radio.

”Kami tahu karena kerap mendapat kiriman pesan dari pendengar di pelosok,” katanya.

Berkat kepiawaiannya, tahun 1970 Syaer Sua dipercaya pemerintah daerah tampil memainkan karungut serta tarian dayak di RRI dan TVRI Jakarta, termasuk pada peresmian Taman Mini Indonesia Indah. Bersama grup kesenian asal Kalteng, tahun 1992, Syaer Sua pentas di Spanyol, dan 1994 ia tampil di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Singapura.

Dalam empat kali lomba musik karungut tingkat Kalteng, Syaer Sua selalu juara, sampai-sampai ia tak boleh lagi ikut berlomba.

Dia juga menjadi andalan Kalteng dalam olahraga sumpit. Beberapa kali ia meraih medali emas. Dia juga pernah melatih atlet sumpit Kalteng untuk Pekan Olahraga Nasional. Tahun 2001, ia diminta Panglima Kostrad untuk melatih keterampilan menyumpit kepada pasukan khusus.

Enggan jadi pegawai

Syaer Sua bercerita, dia sempat beberapa kali mendapat tawaran dari gubernur Kalteng untuk menjadi pegawai negeri atau terjun dalam partai politik. Namun, semua tawaran itu dia tolak.

”Saya tidak mampu melakukannya. Saya tidak suka politik yang banyak bohong,” katanya.

Penghasilan Syaer Sua diperoleh, antara lain, dari pembuatan album musik karungut yang mencapai 20-an buah. Ratusan ribu keping VCD atau DVD album karungut Syaer Sua beredar di Kalteng. Selain penggemarnya, album Syaer Suar juga diminati para pakar musik etnik dari mancanegara.

Dia bukanlah satu-satunya seniman karungut di Kalteng. Sedikitnya ada 10 pangarungut yang masih bertahan. Banyak anak muda yang masih menekuninya, terbukti dari keikutsertaan mereka pada lomba seni tradisional Dayak.

Buah dari usaha Syaer Sua itu dirasakan warga Tumbang Manggu. Kampung yang ditempuh selama empat jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya ini menjadi salah satu tujuan wisata budaya dan alam yang menarik. Setiap tahun seratusan wisatawan mengunjungi kampung ini.

Mereka, antara lain, bisa menikmati karungut, belajar menyumpit, mencicipi minuman dan makanan khas warga setempat. Mereka juga bisa menjelajah hutan melalui riam-riam pada beberapa anak Sungai Katingan. Semua itu menjadi pengalaman tersendiri buat wisatawan yang merasakan tinggal di huma betang.

Pada perkembangannya, rumah betang menjadi terbuka bagi siapa saja yang cinta dan peduli seni budaya Kalimantan. Moto rumah ini: berbeda suku agama bukan penghalang, sudah membudaya dari nenek moyang, hidup rukun damai selalu berkembang, itulah yang disebut budaya betang.

”Saya tidak akan menyerah untuk bisa mewujudkannya,” demikian tekad Syaer Sua.

Sumber berita dan foto: kompas.com

Read More......