SANG PENJAGA HUTAN

KBR68H - Siapa sangka hutan adat yang begitu lebat di Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat justru dilestarikan oleh bekas pembabat hutan. Mayoritas warga desa yang dulunya penebang liar, kini bahu membahu mempertahankan kelestarian hutan. Ancaman kini datang dari pemodal dan perkebunan sawit. Kontributor KBR68H Heriyanto menemui Damianus Nadu, bekas pembalak yang menggagas status Hutan Adat seluas 200 hektar dan memimpin perlawanan terhadap pembalakan liar.

Damianus Sang Penjaga Hutan

Bekas pembalak
Damianus Nadu berjalan cepat masuk ke dalam hutan. Sesekali dia menebaskan parangnya, membuka jalan agar mudah dilalui. Dedaunan masih basah oleh hujan semalam. Sepanjang perjalanan, suara burung terdengar bersahutan. Hutan ini sangat lebat. Ada banyak pohon-pohon besar menjulang tinggi. Butuh sedikitnya lima orang untuk memeluk batang pohon di sini.

Hutan inilah yang dijaga oleh Damianus Nadu, 47 tahun, tokoh masyarakat Dusun Melayang, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Damianus adalah bekas pembalak liar yang berinisiatif mempertahankan hutan adat seluas 200 hektar itu. “Saya berusaha mempertahankan hutan itu demi anak cucu nanti. Sehingga kalau dilihat daerah-daerah sekitar hutan, sudah tidak ada lagi oleh perusahaan kayu. Saya khawatir dan kasihan sekali melihat anak cucu nanti. Kalau mereka mengenal jenis-jenis tanaman seperti bengkirai, kapur dan lain sebagainya, mereka hanya mengenal nama saja.”

Siapa sangka, dulu Damianus adalah penebang kayu paling handal, menjadikan aktivitas ini sebagai pemasukan utamanya. Namun ia mengaku tak tenang. Merasa bersalah lantaran nenek moyangnya dulu menjaga hutan, tapi ia justru menebanginya. “Dua hari itu saya bisa mencetak 2 truk,” kata Damianus. Tapi begitu ia berpikir bahwa hutan semakin habis, ia mulai sadar. Sejak awal 2000-an, aktivitas ini mulai dikurangi. “Kalau kita cerita tentang manusia ya, kalau pohon ditebang itu kan pohon nangis. Jadi ada rasa kasihan.”

Kesadaran ini semakin tebal seiring Damianus melihat luas hutan terus berkurang. Baik oleh pembalak liar seperti dirinya, atau oleh perusahaan legal. Hutan di desanya kini nyaris tak tersisa, hancur sekitar 80 persennya. Yang tersisa hanya hutan di sisi timur desa. Damianus khawatir hutan itu bakal ikut punah. Karenanya, hutan itu lantas ditetapkan sebagai hutan adat.

Hutan Pengajit

Hutan adat ini diberi nama Pengajit, dikukuhkan pada 2002 silam oleh Bupati Bengkayang saat itu, Yacobus Luna. Penetapan itu atas ausul Damianus yang merasa perlu ada aturan bersama demi mempertahankan hutan adat yang terancam pembalakan liar. Kepala adat Dusun Melayang, Evodius Andong adalah orang yang mendukung upaya ini. “Pak Nadu punya inisiatif. Bagaimana jalan keluar supaya kita lebih kuat mempertahankan hutan. Maka ini dijadikan sebagai hutan adat.”

Demi menjaga hutan, setiap hari Damianus Nadu keliling hutan memastikan tak ada yang mencuri kayu di sana. Tugas ini juga dibebankan pada warga lain, terutama para pemuda. Bila ada orang yang mencuri kayu warga tak segan menangkapnya. Warga memang dilarang tebang kayu tanpa izin. “Boleh dipakai dan dipergunakan penduduk setempat, dengan catatan dia pergunakan yang sudah tumbang atau yang sudah mati. Saya tidak akan pernah izinkan menebang sesuka hatinya.”

Kalau tertangkap basah mencuri atau menebang pohon tanpa izin, siap-siap saja kena denda adat. Si pencuri harus membayar 3 kali lipat harga kayu yang ditebang. Kayu disita, sementara uang hasil denda itu akan disimpan di kas kampung, digunakan untuk menjaga hutan. “Misalnya kalau mereka menebang kayu tanpa lapor, maka bisa kita hukum. Apalagi kalau dia menjualnya lagi ke luar Bengkayang, berarti itu sudah ada kaitan dengan bisnis, sehingga kita hukum.”

Aturan ini terus ditegakkan, meski tak mudah melakukannya di masa-masa awal. Banyak warga merasa dirugikan karena tak boleh lagi tebang pohon. Menurut Ateh, pemuda desa setempat, tak mudah mengubah pandangan ini. Namun aturan terus ditegakkan dan diperkenalkan lewat berbagai pertemuan desa. “Kalau kita habiskan hutan itu, apalah yang kita lihat? Sekarang kita bisa lihat pohon-pohon besar. Kalau itu dibabat, mungkin hanya cerita atau dongeng yang kita dapatkan.”

Kehadiran sungai-sungai ke arah desa seolah jadi pengingat warga. Karena Hutan Adat Pengajitlah, sumber air tetap terjaga. Lebatnya hutan juga menghalau angin kencang dan banjir. “Keberadaan hutan itu bukan hanya untuk manusia saja, tapi juga sebagai sumber air, menahan erosi. Angin pun terpental di situ karena hutan masih lebat.”

Sumber air warga desa

Ancaman untuk hutan adat

Desa Sahan terletak di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Mayoritas penghuninya adalah Suku Dayak Bekatik. Sisanya pendatang, terutama para transmigran Jawa. Hutan Adat Pengajit berada 3 kilometer di sebelah timur desa.

Hutan ini menyediakan bibit beraneka ragam jenis pepohonan, seperti kayu Ulin, Gaharu, atau Masang. Karenanya hutan sering jadi sasaran penelitian berbagai industri, terutama kalangan akademisi, kata Ateh. Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat ikut meneliti bibit tanaman dari Hutan Ada Penganjit.

Ancaman pertama justru datang dari warga. Tak mudah meyakinkan warga untuk tak lagi menebang pohon sesuka hati. Damianus Nadu, bekas pembalak yang mengggas hutan adat ini, kadang harus berhadapan dengan warga yang bandel. “Kita kadang dibenci karena kita bertindak keras, berperilaku keras. Orang yang tidak senang kepada kita kadang dendam dan sebagainya. Itu kan bagian daripada rintangan dan tantangan,” kata Nadu

Pengusaha kayu mulai mengincar kayu-kayu bernilai tinggi dari Hutan Adat Pengajit. Kata Damianus, ia pernah ditawari 5 miliar rupiah oleh pengusaha untuk menyerahkan hutan adat seluas 200 hektar ini. Namun Damianus menolak. “Karena kalau takut sedikit saja, sudah habis kita. Karena kita ini orangnya sendiri kan? Sementara yang kita hadapi itu kan masyarakat yang beragam dan bermacam alasan dan kepentingan. Makanya harus berani dan tegas.”

Pada tahun 1980-2000, pembalakan liar marak terjadi di Kalimantan Barat, termasuk di Kabupaten Bengkayang. Orang dengan mudah menebang kayu karena tidak tegasnya aturan hukum. Kayu-kayu hasil pembalakan liar banyak yang diselundupkan ke Malaysia, cerita Damianus Nadu.

Ancaman lain adalah ekspansi kebun kelapa sawit. Survei WALHI Kalimantan Barat menunjukkan kalau lingkar luar desa sudah mulai dimasuki kebun sawit. Aktivis WALHI Sumantri menemukan bukti perambahan di Hutan Ada Pengajit di batas hutan di sebelah timur. “Setelah diukur dengan GPS, kerusakan tersebut mencapai 2000 meter persegi.”
Sejak tahun lalu, warga menghadang masuknya perusahaan kebun sawit, tak rela hutan adat dan wilayah desa mereka dirampas. Alat berat untuk mengerjakan lahan dilarang masuk ke kawasan desa. Hendra Laban, seorang pemuda setempat, termasuk satu diantara warga yang menolak. “Kami tidak mau tanah kami digusur tanpa sepengetahuan kami. 100 persen tidak mau terima.”

Warga sampai harus berdemo karena perusahaan sudah membersihkan lahan dengan alat-alat berat. “Akhirnya terjadi penembakan. Penembakan itu ada yang ke atas, beri peringatan. Tapi semua masyarakat membawa senjata api semua, termasuk mandau.”
Sejak itu, tak ada lagi pengusaha kebun sawit yang berani mendekati Hutan Adat Pengajit.

Warga menjaga hutan untuk kepentingan mereka sendiri. Sampai saat ini tak sepeser pun bantuan diterima dari pemerintah setempat. Misalnya, untuk kesediaan warga menjadi penjaga hutan. Kepala Adat Evodius Andong mengatakan, usul itu pernah diajukan ke Pemda, tapi lenyap begitu saja. “Kami dulu punya ide begitu. Satu atau dua orang menjaga hutan Pengajit, mereka itu diberi honor untuk menjaga hutan dari si pencuri kayu dan sebagainya. Mereka bilang nanti bisa, tapi setelah kami tanya di sana, dananya belum ada....”

Hutan Adat Pengajit tak bisa lepas dari Damianus Nadu. Bekas pembalak yang jadi pelindung hutan.

Sumber berita dan foto: http://www.kbr68h.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar