Pohon Hayat Suku Dayak Kaharingan
Imam Qalyubi

Penulis adalah konservator naskah-naskah kuno Nusantara. Mahasiswa S3 Ilmu Budaya UGM.

Di Nusantara, mitos pohon hayat telah menjadi konsepsi bersama yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian mitos pohon hayat banyak ditemukan dalam mitologi beberapa suku di Indonesia walaupun dengan penamaan yang berbeda-beda akan tetapi system perlambangannnya hampir sama sehingga dalam pemaknaannyapun cenderung sama.


Secara umum pohon dalam berbagai kehidupan budaya Nusantara dipercaya memiliki kekuatan sebagai pemberi petunjuk kehidupan, pemberi keteduhan, pemberi perlindungan. Sebagaimana kepercayaan orang Jawa terhadap beberapa pohon keramat seperti pohon Dewadaru (anugerah Dewa), pohon waringin kurung di Keraton Yogyakarta dan puluhan atau bahkan mungkin ratusan pohon-pohon keramat lainnya yang hingga kini masih dikeramatkan dan tersebar di beberapa tempat di Jawa maupun di beberapa tempat di Indonesia.

Pohon dalam pandangan masyarakat Nusantara lama secara anatomis dianggap sebagai personifikasi manusia yang memiliki rambut, tangan, kaki, bernafas, dll. Sehingga pohon dianggap sebagai saudara tua yang lebih dulu ada sebelum manusia muncul di permukaan bumi ini. Pohon dengan segala mitosnya kemudian diperlambangkan sebagai pohon hayat yang diukirkan pada wayang Jawa yang berkembang pada masyarakat Jawa Islam. Pohon hayat yang terdapat dalam pewayangan pada masyarakat Jawa Islam sering dipertalikan dengan para wali atau sunan karena pada masa itu wayang digunakan sebagai media dakwah. Ukiran pohon hayat dalam pewayangan dikenal sebagai gunungan karena bentuknya yang menyerupai gunung.

Selain suku Jawa, suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah penganut Kaharingan adalah satu suku di nusantara ini yang juga memiliki konsep pohon hayat. Pohon dalam alam pikiran suku Dayak dianggap sebagai pemberi kehidupan sehingga pohon kemudian disimbolikkan sebagai pohon kehidupan atau Batang Garing . Pohon hayat atau Batang Garing bagi penganut Kaharingan merupakan perlambangan sebuah keabadian yang akan ditemui pada kehidupan swargaloka (baca:surga).

Jika ditelisik lebih jauh suku Dayak penganut Kaharingan memiliki suatu pandangan bahwa pohon yang bukan dalam pengertian simbolik adalah subyek yang berdiri secara linear dengan manusia sehingga hutan yang merupakan masyarakat pohon atau komunitas dalam dunia perpohonan menjadi satu ikatan yang tidak dapat dilepaskan. Manusia dan hutan adalah dua subyek dengan kapasitasnya masing-masing. Manusia tidak hanya diposisikan pada tataran subyek semata khususnya dalam memperlakukan hutan akan tetapi di sini alam turut menjadi subyek yang dapat memberikan pengaruh terhadap prilaku manusia di sekitarnya.

Jika dilacak dari aspek kesejarahan konsep pohon hayat pada penganut Kaharingan dimungkinkan hasil pengadopsian dari kebudayaan Hindu lama yang terdapat di pulau Jawa lama yaitu pohon kalpataru. Hal ini dapat dilihat pada relief Candi Prambanan. Di situ terpampang jelas gambar lengkap pohon hayat atau kalpataru dengan segala simbol-simbolnya. Namun terdapat sebuah pendapat lain bahwa nama kalpataru sendiri muncul pertama kali di Kalimantan. dan dipahatkan pada prasasti di Kutai pada masa kerajaan Hindu tertua Nusantara dengan rajanya Mulawarman. Dalam prasasti tersebut dikatakan bahwa istilah kalpataru awalnya adalah istilah yang mengacu pada aktivitas pemberian sedekah yang dilakukan oleh Raja Mulawarman sendiri kepada rakyatnya. Seiring dengan perjalanan waktu, nama kalpataru kemudian berubah menjadi sebuah falsafah atau perlambangan sebagai pemberi kehidupan, karena dengan pemberian atau sedekah tersebut seseorang akan dapat menyambung hidupnya pada hari berikut dan seterusnya.

Terlepas apakah pohon hayat atau Batang Garing pada penganut Kaharingan berasal dari Kalimantan atau Jawa, yang jelas simbol Batang Garing merupakan sebuah konsep pohon hayat sebagaimana yang diyakini oleh beberapa suku di Nusantara. Jika dianalisis secara linguistis kata batang sendiri berasal dari bahasa Melayu yang artinya “pohon”. Sementara kata garing yang artinya “hidup,” diduga berasal dari bahasa Dayak kuno. Namun dalam pengamatan penulis kata garing berasal dari kata aring yang artinya nama sebuah pohon di Jawa (lihat Prawiroatmojo, 1980:17). Melalui proses linguistis kata aring kemudian berubah menjadi garing, dan kemudian menjadi Batang Garing sebagaimana yang dipahami oleh penganut Kaharingan kini.

Bagaimana kemudian makna perlambangan dari Batang Garing itu sendiri? Dengan penggambaran yang meyeluruh Batang Garing memiliki berbagai macam simbol seperti, tombak, gong, pohon utuh, buah-buahan, ranting-ranting permata, bintangbintang, belanga dan dimungkinkan masih terdapat simbolsimbol lainnya yang belum penulis temukan secara komplit karena antara gambar yang satu dengan yang lainnya cukup berbeda. Simbol-simbol yang terdapat dalam Batang Garing tersebut, jika dimaknai dengan pendekatan semiotis dengan landasan pemaknaan secara ke-nus-wantaraan, akan memiliki pemaknaan sebagai berikut:

Batang yang tegak lurus maknanya adalah hubungan manusia dengan sang pencipta, di mana sang pencipta dipersepsikan berada di aras atas sehingga ujung pohon menunjuk pada arah tersebut. Belanga atau tajau, adalah simbol tempat air kehidupan atau tirtamerta. Daun, adalah daun hijau abadi yang tidak akan pernah layu sehingga secara berkelanjutan akan memberikan kesejukan bagi makhluk yang hidup dalam keabadiannya. Ranting-ranting dari permata, merupakan perlambang pohon yang akan memberikan kesejahteraan dan perlambang kemewahan alam surgawi. Buah-buahan dari permata, adalah perlambangan dari kemakmuran kesejahteraan yang jika dipetik tidak akan pernah habis dan akan berbuah sepanjang masa. Tombak, sebagai perlambang untuk menjaga kesucian dari Batang Garing. Bintang-bintang, merupakan perlambang untuk menerangi alam semesta. Gong, sebuah anomatopi yang artinya Gung atau keagungan atau yang maha besar.

Jika dilihat dari aspek ekonomi bahwa pohon itu sendiri dapat menghasilkan uang yang dapat membantu perekonomian dan perbaikan kehidupan masyarakat sementara pada tataran kosmologi bahwa pohon selain pemberi kehidupan di satu sisi pohon juga merupakan partner yang linear dengan manusia yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Sementara pada aspek pemaknaan simboliknya bahwa konsep pohon hayat merupakan konsep pohon surgawi dimana segala macam bentuk kenikmatan semua tersedia disitu yang diperuntukkan Tuhan kepada manusia yang dipilihnya.

Teras Mihing, Ph.D
Palangkaraya, 15 Juli 1986

Hidup, menurut orang Dayak Ngaju yang tinggal di sepanjang sungai Kapuas, Kahayan, Katingan, Rungan, Manuhing dan Mentaya merupakan suatu hasil benturan dua kekuatan. Alam semesta terbentuk karena adanya benturan antara benda-benda langit yang dengan dahsyatnya menyemburkan api-api yang terpercik kemana-mana dan kemudian membentuk alam semesta. Alam itu kemudian terbagi atas alam yang dikuasai oleh Ranying Mahatala Langit dan dunia bawah yang dikuasai oleh Jata atau Tambun. Walaupun terdapat dua mahadewa tersebut, namun pada hakekatnya kedua mahadewa tersebut adalah satu, sebaba Jata sebenarnya tidak lain adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatala Langit sendiri. Keduanya berbeda dan memiliki daya hidup serta kekuasaan sendiri-sendiri, tetapi keduanya memebentuk suatu keutuhan kosmis. Jika salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu.

Manusia sendiri tercipta akibat terjadinya benturan berupa perkelahian antara dua ekor enggang, yaitu enggang jantan dan enggang betina yang sedang mencari dan memakan buah dari Pohon Kehidupan atau Batang Garing. Enggang betina mulai bergerak dari bawah pohon sedangkan enggang jantan bergerak dari puncak ke bawah. Ketika kedua enggang bertemu maka perkelahian hebat yang berakhir dengan matinya kedua burung tersebut setelah memporakporandakan Batang Garing. Bagian-bagian dari Batang Garing yang berserakan dan bertebaran dimana-mana kemudian memunculkan berbagai kehidupan termasuk manusia laki-laki dan manusia perempuan.

Dari wawasan dasar tentang kosmis tersebut, orang-orang dayak Ngaju menganggap bahwa kosmis ini akan selalu berisikan dua kekuatan yang bisa bertentangan dan berbenturan untuk kemudian membentuk suatu kehidupan baru. Benturan-benturan bukanlah hal yang dianggap menakutkan, sebaliknya dianggap sebagai kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Karena itu orang-orang Dayak harus selalu bersifat terbuka dan siap menanggung kesulitan-kesulitan yang terjadi, karena benturan-benturan antara kebudayaan dan tata nilai mereka yang lama dengan kebudayaan dan tata bilai baru yang mungkin saja sangat bertentangan dengan kebudayaan dan tata nilai tradisional mereka. Justru dengan memanfaatkan benturan-benturan tersebut orang-orang Dayak akan mampu menyusun suatu tatanan baru yang lebih sesuai dan yang memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.

Batang Garing dan Bagian-bagiannya Sebagai Lambang, Pohon Batang Garing berbentuk tombak dan menunjuk ke atas. Pohon ini melambangkan Ranying Mahatala Langit. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Dengan demikian disampaikan pesan bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda, tetapi sebenarnya merupakan suatu kesatuan dan saling berhubungan.

Dahan-dahan pohon berlekuk sedemikian rupa untuk melambangkan Jata sedangkan daun-daun berbentuk ekor burung enggang. Di sini juga dilambangkan bahwa kesatuan itu tetap dipertahankan.

Buah Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sekali lagi diingatkan bahwa turunan manusia harus mengarahkan pandangannya bukan hanya ke atas, tetapi juga ke bawah. Dengan kata lain manusia harus menghargai Ranying Mahatala Langit dan Jata secara seimbang. Ditafsirkan menurut pengertian kontemporer, orang Dayak haruslah mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan keduniaan dan kepentingan akhirat.

Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.

Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.

1 komentar:

  1. Sangat menarik melihat makna pohon yang lebih kontekstual dan spiritual, bukan benda mati yang mudah dieksploitasi. Moga bisa sinergi untuk kontemplasi bersama...

    BalasHapus