Kearifan Local Dayak Ot Danum


Dari ratusan suku Dayak di Kalimantan, salah satunya adalah Dayak Ot Danum di Kalimantan Tengah. Masyarakat adat Dayak dekat dengan alam dan sangat menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sekitarnya.
Menghadapi musim kemarau berkepanjangan tahun ini Dayak Ot Danum melakukan ritual meminta hujan. Berikut salinan berita yang muat di Koran Kalteng Pos tertanggal 3-5 September 2011, halaman 1 dan 4.
“Melihat Ritual Meminta Hujan Suku Dayak Ot Danum Kalimantan Tengah. 1,5 Jam Tak Boleh Bicara”
Sudah tiga minggu terakhir ini, masyarakat Kalteng harus berjibaku dengan asap yang berdampak buruk bagi kesehatan. Kabut asap berasal dari hutan, lahan dan pekarangan yang dibakar orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Banyak pihak yang memberi perhatian khusus terhadap musim kemarau ini. Salah satunya kerukunan warga Dayak Ot Danum Kalteng. Mereka melakukan ritual meminta hujan.
Waktu masih menunjukan pukul 06.55 WIB. Dengan mengambil start dari rumah jabatan Ketua Kerukunan Ot Danum Dr. Siun Jarias di jalan M.H. Thamrin Palangka Raya, seluruh peserta ritual siap berangkat menuju tempat yang ditentukan, yakni di tempat sungai Kahayan di wilayah Kelurahan Pahandut Seberang.
Hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit melewati jembatan Kahayan, kami sampai di lokasi. Dengan di pimpin seorang Basir (pemimpin upacara, Red), seluruh peserta ritual meminta hujan yang terdiri atas sembilan orang melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai Kahayan dengan kelotok (kapal kecil bermotor,Red) dan sisanya menunggu upacara selesai.
Nyaluh Ondou. Demikian masyarakat Dayak Ot Danum memberi nama ritual dimulai dengan mengambil air dan pasir dari tepi sungai Kahayan yang dilakukan oleh Basir diiringi dengan mengucapkan beberapa kalimat doa. Setelah itu, kami melanjutkan lokasi ritual yang posisinya agak masuk ke dalam hutan, sekitar 500 meter dari tepi sungai.
Sejak awal, kami sudah diingatkan untuk tidak berbicara sama sekali, bahkan berbisik-bisik sekalipun. Menurut penuturan salah satu peserta, saat dilakukan ritual, akan banyak mahluk gaib yang akan berkumpul dan berdoa Kepada Sang Pencipta dan memakan roh dari seluruh persembahan.
“Takutnya, nanti salah-salah bicara dan ada yang tidak berkenan sehingga mengganggu upacara”, tutur salah satu peserta sambil berbisik. Lokasi prosesi meminta hujan tersebut tampak rimbun oleh tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon rendah. Basir lalu memulai aktivitasnya dengan mencari beberapa kayu pohon untuk dijadikan tempat meletakkan persembahan yang terbuat dari tempat menganyah beras (tampah, Red) yang bertingkat dua.
Selanjutnya, basir meletakan satu persatu persembahan yang dibawa, mulai dari empat buah garam balok di bagian bawah dan lima gundukan pasir di sela-sela balok garam tersebut. Gundukan pasir dibuat mengerucut. Tak lupa pula diletakkan beberapa uang koin dan telur masak di sekitarnya.
Salah satu peserta kemudian mengeluarkan bambu yang di dalamnya sudah berisi beras dan ketan. Bagian atasnya diletakkan telur dan lima batang rokok ditaruh menggelilingi telur. Tiga daun raja diambil sebagai alas ayam rebus yang diletakkan di bagian atas tempat persembahan. Di sekitarnya ditaruh empat butir telur yang dikelilingi tiga balok garam dan empat batang rokok. Sekitar 30-an kue yang yang terdiri dari kue apam, cucur, kue cicin, dan kue pare-pere melengkapinya.
Selanjutnya, oleh sang Basir, tiga gundukan pasir diletakkan di sekitar sesajen tersebut yang juga dibuat meninggi seperti gunung dengan meneteskan pasir yang bercampur air. Kami satu persatu secara bergantian meletakkan dan membuat gundukan pasir di tampah bagian atas.
Setelah sekitar satu setengah jam kami tidak berbicara, basir selesai membaca doa dan permintaan. Kami kembali ke tepi sungai dengan cara berlari sesuai dengan arahan basir. Sesampainya di tepi sungai, basir melepaskan seekor ayam jago yang harus kami tangkap. Akhirnya salah satu dari kami berhasil menangkap ayam jago tersebut. Kami lalu kembali menyeberang sungai dengan mengunakan kelotok dengan posisi menghadap ke depan.
“Memangil Tiga Malaikat Penguasa Hujan”
Sebelum dilaksanakan ritual utama pada Senin (29/8) pagi, Basir (pemimpin upacara,Red) dan sejumlah anggota kerukunan suku Dayak Ot Danom, sebenarnya telah melakukan ritual permulaan. Di antaranya pengecekan Sangkarayan Nyalu (Lokasi Upacara,Red), serta penaburan beras kuning dan merah, sebagai penyampaian pesan awal permintaan hujan.
Sore, sekitar pukul 17.06 WIB, sehari sebelum ritual utama Nyaluh Ondou di tepi sungai Kahayan. Basir Damek yang memiliki kemampuan titipan orang tua (leluhur) untuk meminta hujan kepada sang pencipta telah melakukan beberapa ritual pembuka. Ia bersama dua orang warga Ot Danum, Bardi dan Suryadi melakukan ritual pembuka, yakni penaburan beras merah dan kuning. Hal ini dilakukan sebagai pemberian pesan awal kepada sang pencipta dan ketiga Rajan (malaikat;red) penguasa hujan, bahwa mereka hendak meminta hujan diturunkan di Palangka Raya, dalam rangka memadamkan kebakaran hutan, lahan dan pekarangan yang menyebabkan kabut asap di Kalteng.
“Pesan awal kita pada sore ini, diterima dengan baik oleh sang pencipta dan ketiga rajan. Terbukti degan mulai diturunkannya hujan di Palangka Raya, meski tidak terlalu lebat. Namun, cukup sebagai tanda diterimanya keinginan kita untuk meminta hujan,” tutur Damek kepada Kalteng Pos, Sabtu (3/9) siang.
Ketiga rajan/ malaikat bersaudara tersebut, dituturkannya, adalah Raja Gamala Raja Tenggara (penguasa kilat), Raja Janjulung Tatu Riwut (penguasa angin) dan Raja Sangkaria Anak Nyaru (Penguasa Petir). Ketiganya merupakan penguasa hujan yang hendak diminta bantuan untuk menurunkan hujan di Kalteng.
“Mereka tersebut sebenarnya tujuh bersaudara. Namun, yang kita minta hadir pada saat ritual minta hujan, hanya tiga di antaranya yang menguasai hujan,” tuturnya. Bermacam sesembahan memang merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut, diantaranya beras ketan, telur, rokok, uang logam, 40 jenis kue yang berbeda bentuk, garam balok, ayam masak, dan beberapa sesajian (persembahan;red) lainnya. “Semua persembahan itu diberikan kepada ketiga saudara penguasa hujan yang di Kalteng tersebut. Sedangkan gundukan pasir yang ada, merupakan tempat duduk bagi para malaikat tersebut, saat ritual Nyaluh Ondou berlangsung,” tuturnya.
Sementara itu, ayam yang sempat diperebutkan usai ritual utama, malam harinya sudah mati dengan sendirinya. “Sebenarnya ayam itu merupakan Sepak Tiak (peliharaan sang malaikat) yang diberikan oleh warga Ot Danum Kalteng. Dan sudah dijemput pada malam harinya. Namun, sempat berkokok 12 kali sebelum ayam tersebut mati,” tutur Bardie yang mendapatkan ayam tersebut.
Menakjubkan, malam hari setelah dilaksanakan ritual meminta hujan tersebut (29/8), permohonan dari warga Ot Danum kepada sang pencipta dengan melaksanakan ritual Nyaluh Ondou terkabulkan. Hujan mulai turun di Kabupaten Kapuas dan Gumas Mas dengan lebatnya. Kemudian besok harinya Selasa (30/8) disusul hujan lebat yang terjadi di Palangka Raya, dan sejumlah kota-kota lainnya, hingga sekarang.
“Hujan Pun Turun Dengan Lebatnya”
Secara umum tradisi suku Dayak di Kalteng yang berupa upacara ritual dibagi menjadi menjadi dua bagian yakni ritual kehidupan dan kematian. Nyalu Ondou (ritual meminta hujan suku Dayak Ot Danum kepada Sang Pencipta melalui bantuan tiga rajan/ malaikat penguasa hujan) merupakan bagian dari ritus kehidupan.
Kalteng merupakan daerah yang memiliki beraneka ragam tradisi yang berasal dari budaya suku Dayak. Suku Dayak sendiri berbagi menjadi subsuku seperti Ot Danum, Ma’ayan, Lawangan, Siang, Taboyan, dan subsuku lain yang memiliki keunikan tradisi tersendiri.
Nyaluh Ondou yang dilakukan suku Dayak Ot Danum hanya sebagian kecil dari banyaknya ritual dan upacara adat yang dilakukan suku-suku Dayak di Kalteng masih banyak upacara ritual yang ada di Bumi Tambun Bungai ini. Secara Umum dikenal lima upacara yang bersifat besar dan melibatkan banyak orang serta dana yang tidak sedikit.
Lima upacara ritual besar tersebut di antaranya adalah upacara Tiwah yang merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalteng, khususnya Dayak di pedalaman penganut agama Hindu Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Kemudian ada upacara Pakanan Sahur Lewu yang berarti memberikan sesajen kepada para leluhur atau para dewa yang melindungi warga desa/ kampung sebagai tanda terima kasih atas berkat dunia.
Selanjutnya, Kalteng juga memiliki upacara Ritual Nahunan, yakni upacara memandikan bayi secara ritual menurut kebiasaan suku Dayak Kalteng. Tujuan uamanya adalah pemberian nama sekaligus pembabtisan menurut Hindu Kaharingan kepada anak yang baru lahir. Selain itu, ada upacara Manyanggar yang diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan mahkluk gaib yang tidak terlihat secara kasat mata.
Terakhir adalah upacara ritual Pakahan Batu, yakni ritual tradisional yang digelar setelah panen ladang atau sawah. Upacara Pakanan Batu ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada peralatan yang dipakai saat bercocok tanam sejak membersihkan lahan hingga menuai hasil panen.
“Selain mengatasi masalah kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan yang terjadi di Kalteng, tujuan kita melaksanakan ritual tersebut untuk mempertahankan budaya Dayak Ot Danum yang dimiliki nenek moyang warga Ot Danum dari 60 subsuku warga Ot Danum di seluruh Indonesia,” terang Ketua Kerukunan warga Ot Danum Kalteng, Dr. Siun Jarias kepada Kalteng Pos, Sabtu (3/9) siang.
Nyalu Ondou, lanjutnya pria yang merupakan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalteng tersebut, hanya merupakan salah satu upaya pihaknya untuk menjaga tanah kelahirannya dari kehancuran. Patut disyukuri, usai dilakukan upacara ritual pembuka dan utama, Senin (29/8) pagi, hujan pun turun dengan lebat disejumlah kabupaten/ kota di Kalteng.
“Kami berharap, hujan yang diturunkan Sang Pencipta ini bisa memadamkan kebakaran hutan dan lahan serta menghentikan kabut asap di Bumi Tambun Bungai ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum Kerukunan Warga Ot Danum Kalteng, Guntur Talajan, SH M.Pd menyampaikan, ritual meminta hujan Ot Danum tersebut merupakan bentuk kearifan local yang wajib dilestarikan. “Sudah sewajarnya orang tua memiliki kewajiban untuk untuk memberi pembelajaran kepada anak-anak dan generasi penerusnya. Talenta dan apa yang dimiliki, jangan didiamkan saja, wariskanlah kepada anak cucu kita sehingga lestari budaya kita, tidak hilang,” ungkapnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kalteng tersebut menuturkan, sebenarnya masih banyak lagi kearifan local yang dapat diterapkan dalam kehidupan ini, diantaranya adalah upacara Mengayau Danum. Upacara tersebut biasanya dilakukan saat banyak orang yang mati tengelam di air atau sungai sehingga dibalas air itu dengan mengayaunya dengan harapan tidak ada orang yang mati tengelam lagi.
“Upacara ini pernah kita lakukan di Desa Mungku Baru, Rakumpit, waktu zaman Pak Tuah Pahoe karena ada beberapa kejadian warga meninggal karena tengelam. Akhirnya sampai sekarang tidak ada yang meninggalkan lagi karena tengelam. Jadi, mari kita sama-sama kita pertahankan budaya dan kearifan local yang kita miliki ini,”.

Keterangan foto: Basir, melakukan pengambilan air dan pasir dari tepi Sungai Kahayan sebagai salah satu syarat utama sesembahan ritual meminta hujan Dayak Ot Danum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar