PENGELOLAAN LAHAN Masyarakat Adat Dayak Ngaju Terabaikan


JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah merasa diabaikan dalam segala bentuk program pemerintah. Mulai dari zaman orde baru dengan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Satu Juta Hektar 1996 hingga saat ini dengan program pengurangan emisi melalui deforestasi dan pencegahan kerusakan lahan (REDD+).
Ini belum termasuk berbagai proyek investasi kelapa sawit dan pertambangan. Semuanya dinilai merampas hak masyarakat adat Dayak Ngaju sebagai pemilik tanah secara turun-temurun.

Ini diungkapkan beberapa perwakilan Masyarakat Adat Dayak Ngaju yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam temu dengan media, Senin (24/10/2011) di Jakarta.

Pekan lalu, mereka yang berasal dari 4 desa di kecamatan Mentagai Kabupaten kapuas Kalimantan Tengah, telah bertemu dan melayangkan keresahannya pada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Komisi IV DPR serta Badan Pertanahan Nasional.

Di situ, masyarakat menyampaikan kawasan bekas PPLG yang memiliki gambut sedalam 1-20 meter telah dikuasai oleh 23 perusahaan perkebunan sawit. Dari jumlah itu, 11 perusahaan dinyatakan tidak berizin seluas 380.000 hektar. Ini belum lagi proyek konservasi setempat yang dituding merampas hak dan akses masyarakat akan pemanfaatan hasil hutan.

"Kami mau tanah kami dikembalikan ke masyarakat," ucap Tanduk, tokoh masyarakat adat Dayak Ngaju. Nurhadi, anggota masyarakat Dayak Ngaju lainnya, mengatakan masyarakat desa tidak perlu diajari cara mengelola hutan. Mereka yang setiap hari tinggal di hutan, mengerti, jika hutan dijaga, maka kehidupan mereka pun terjamin.

Masyarakat Dayak Ngaju memiliki zonasi dalam hukum adatnya. Yaitu, hutan Pahewan yang merupakan kawasan keramat atau terkait ritual adat dan dilindungi. Hutan Sahepan, dipergunakan untuk masyarakat berburu dan beraktivitas mencari kulit kayu, lateks, dan obat-obatan. Hutan Kaleka untuk perladangan/perkebunan.

Ichwan Susanto | Robert Adhi Ksp | Senin, 24 Oktober 2011 | 14:01 WIB

Keterangan foto: Masyarakat Dayak mulai menanam padi ladang (nugal) di lahan yang baru saja selesai dibuka dengan cara membakar. Mereka masih mempraktekkan sistem perladangan berpindah, dalam satu siklus, mereka akan kembali ke lahan yang pernah mereka tanami 6-7 tahun sebelumnya (KOMPAS/AGUSTINUS HANDOKO).

Sumber: http://regional.kompas.com
Sumber foto: http://assets.kompas.com

Read More......

Dayak yang Belajar dari Kehidupan


Bagi orang Dayak, warna tidak sekedar memberikan nuansa variatif. Warna babilem, baputi, bahijau, bahenda dan bahandang merupakan hasil penjelajahan melewati limit alam akali.
Babilem (hitam), memberi kekuatan bersembunyi di kegelapan. Dalam bahasa Dayak Ngaju disebut “salatutup”. Ketika ada orang mati, agar bayi tidak terlihat oleh roh-roh jahat dan atau melihat roh-roh jahat, diambillah “sale pahe” (jelaga) untuk dioleskan pada alis bayi. Konon dilakukan pada waktu sore hari menjelang malam, yaitu saat diyakini bahwa roh-roh jahat sedang keluar menghampiri orang mati dan akan membuat “sawan” (ketakutan) pada bayi. Ada yang mengatakan bahwa “salatutup” bagi orang Dayak, terobsesi dari kebiasaan burung “Taktahau” bersarang di tanah dan tidak pernah terusik adanya ular. Burung “Taktahau” bersuara pada sore hari (ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat) dijadikan pertanda datangnya malam. Burung tersebut terbang seliweran di atas danau dan sungai di Kalimantan Tengah dan dapat dilihat ketika naik perahu pulang dari ladang.

Baputi (putih); tidak saja bermakna kesucian tetapi juga bermakna ketulusan. Di dalam acara “membuyu” (laki-laki ditinggal mati oleh istrinya) atau “mambalu” (perempuan ditinggal mati oleh suaminya) dikenakan lawung atau tudung kepala berwarna putih. Masing-masing dengan tulus melepaskan yang pergi dan meski “buyu” (duda) atau “balu” (janda), tetap hidup dalam kesucian. Warna putih diambil dari warna “ketuk” (kapur sirih) - terbuat dari tulang atau kerang yang dibakar. Ketuk (kapur sirih) digunakan “melampinak” (menandai) “cacak burung” (white cross) pada daun sawang (lumpiang) yang digunakan pada ritual tertentu. Pada saat memasak ketan, “cacak burung” (white cross) ditandai di panci, menandakan makanan bersih dan untuk manusia (menghindari “puji liau”).

Bahijau (hijau), daun tumbuhan hidup. Ada kehidupan. Ketika ada orang sakit, tak jarang di bawah tubuh yang terbaring sakit, ditemukan “dawen kayu belum” (daun kayu hidup atau daun segar) yang digunakan untuk mengelabui roh-roh jahat yang berniat mengganggu si sakit atau mengganggu orang yang sedang membawa jenazah.

Bahenda (kuning), kemuliaan dalam suasana batin orang yang rendah hati. Bersumber dari “henda” (kunyit). Membedakan mahluk manusia dengan mahluk gaib ketika berlangsung ritual tertentu, bahwa manusia merupakan mahluk berkedudukan tinggi di antara mahluk lain ciptaan Tuhan, tumit dioles dengan air kunyit.

Bahandang (merah), keteguhan sebuah prinsip. Ketika berperang menggunakan ikat kepala warna merah, Isen Mulang, bersumber dari warna merah “bua jarenang” memberi inspirasi patriotisme, diadopsi menjadi mamut, menteng, ureh demi kecintaan kepada hidup.

Ada pendapat mengatakan bahwa jati diri atau identitas adalah suatu ciri diri sebagai manusia, baik dilihat secara individual atau pun kolektif. Agresi kebudayaan terhadap Dayak terus berlanjut dan jika Dayak tidak membangun ketahanan budaya akan kehilangan jati diri (Tempun Petak Manana Sare). – Terbilang sebagian besar menguasai tanah berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan hanya sebagian kecil memiliki tanah berdasarkan sertifikat.

Membangun ketahanan budaya tidaklah sulit selama hubungan kekuasaan politik dengan penggiat kebudayaan di lapangan tidak terputus. Di sisi lain, kendala membangun ketahanan budaya disebabkan terputusnya rantai kehidupan di masa lalu.

Hubungan antara kekuasaan politik dengan penggiat kebudayaan di lapangan akan dikatakan hidup ditandai dengan antara lain adanya dialog. Tidak kaget berhadapan dengan berbagai pendapat silang siur yang muncul ketika dialog berlangsung. Tidak semua pendapat dan usul yang terkadang sulit dicari dasar logikanya dan terkadang mengundang debat, disepelekan. Sikap menyepelekan bisa menggagalkan upaya menstrukturisasi ide dan gagasan. Sikap menyepelekan bisa mengecilkan nyala api politik kebudayaan. Jangan menjadi orang Dayak menyepelekan debat karena menganggap debat “dia tau jadi behas”.

Berdebat dengan senantiasa berpijak di atas kerangka berpikir yang sehat (logis). Alasan (justifikasi) harus dilengkapi dukungan aspek hukum dan data yang akurat serta diuraikan secara ringkas, padat, spesifik dan terukur. Mencerminkan kebijakan, manfaat dan dampak serta merupakan implementasi dari pelaksanaan kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh mereka yang kita pilih menjadi pemimpin kita. Jangan mengkritisi lebih disebabkan untuk melampiaskan sakit hati. Tampakkan pada dunia bahwa Dayak pintar harati-kapintar maukir petak mangarawang langit. Orang Dayak menghindari ada dendam dan jika ada dendam di antara mereka, segera dilakukan upacara ritual manetes hinting bunu (memutuskan dendam).

Belajar dari kehidupan telah dilakukan oleh Dayak yang menghuni pulau Kalimantan, turun temurun. Dayak menempatkan kehidupan pada posisi penting. Orang Dayak dahulu dikenal memiliki nilai-nilai religiusitas yang tinggi. Mereka percaya pohon, batu, air dan segala yang ada di hutan memiliki kekuatan. Tidak salah bila World Wildlife Fund (WWF) melaporkan bahwa di Kalimantan terdapat 10 spesies primate, 350 spesies burung, 150 spesies reptil dan amfibi serta lebih dari 10 ribu spesies tanaman yang tidak ada ditemukan di tempat lain. Jika tidak percaya laporan tersebut, silahkan menjelajah hutan Kalimantan melalui kegiatan special interest tourism. Pandangan bahwa untuk hidup harus bersumber dengan segala sesuatu yang hidup dan atau memberi kekuatan hidup, selanjutnya menjadi perilaku orang Dayak sekaligus merupakan hasil belajar dari kehidupan.

Dalam konteks kegiatan melestarikan lingkungan hidup, dapat dikatakan bahwa orang Dayak cinta lingkungan hidup dan mengedepankan kebijaksanaan dan kearifan di dalam mengelola hutan dan lahan pekarangan. Kecintaan orang Dayak pada lingkungan hidup antara lain ketika mengambil akar kayu untuk obat, dilakukan ritual yang menjadi semacam ciri diri Dayak.

Adakah demikian kecintaan mereka pada hidup hingga sekarang ini?

Keterangan foto: warna-warna pada ukiran Dayak Kaltim
Oleh: KARDINAL TARUNG (Penulis Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng)
Sumber: http://media.hariantabengan.com
Sumber foto: http://3.bp.blogspot.com

Read More......